Monday, April 21, 2014

Qadha Ibadah Bagi Orang yang Murtad


Orang yang murtad tidak wajib mengqadha ibadah yang ia tinggalkan selama murtad seperti zakat dan puasa menurut pendapat yang masyhur. Tetapi ia wajib mengqadha apa yang ia tinggalkan sebelum murtad menurut pendapat yang masyhur. Pendapat lain mengatakan bahwa ia wajib mengqadha seluruhnya. Dan pendapat lain mengatakan bahwa ia tidak wajib mengqadha keduanya. Ketiga pendapat ini diriwayatkan dari Ahmad.

Adapun perkara-perkara haram yang ia kerjakan, jika ia tertangkap oleh umat Islam, maka ia menanggung kerusakan yang ia timbulkan atas jiwa dan harta benda. Tetapi jika ia berada di tengah kelompok yang menolak hukum Islam, maka ada beberapa riwayat pendapat tentang hal ini. 

Kaidah tentang Kewajiban yang Ditinggalkan dan Keharaman yang Dikerjakan Sebelum Memeluk Islam dan Bertobat

Kaidah ini berbicara tentang kewajiban yang ditinggalkan oleh orang kafir asli (bukan murtad) seperti shalat, zakat dan puasa, bahwa ia tidak wajib mengqadhanya setelah masuk Islam berdasarkan pendapat yang disepakati, karena kewajibannya belum berlaku. Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah risalah telah sampai kepadanya atau belum, dan apakah kekafirannya disebabkan ingkar, atau keras kepala, atau bodoh.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kafir dzimmi dan kafir harbi. Lain halnya dengan hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang kafir dzimmi seperti membayar hutang, menunaikan amanah, dan mengembalikan harta yang ia ambil tanpa seizin pemiliknya. Kewajiban-kewajiban ini tidak gugur lantaran memeluk Islam karena kewajiban itu telah melekat padanya sebelum masuk Islam.
Adapun kafir harbi murni, ia tidak menanggung kewajiban apapun kepada umat Islam, baik dalam bentuk ibadah atau dalam bentuk hak. Ia tidak wajib menunaikan kewajiban apapun, baik berupa hak Allah atau hak umat Islam, meskipun ia tetap diberi sanksi lantaran meninggalkan kewajiban tersebut seandainya ia tidak memeluk Islam. Alasannya adalah karena Islam menutup segala sesuatu sebelumnya.
Demikian pula dengan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dalam Islam tetapi dihalalkan dalam agamanya, seperti beberapa akad dan serah terima yang tidak sah, riba, judi, penjualan khamer dan nabi, nikah tanpa wali dan saksi, pengambilan harta umat Islam dengan cara paksa, dan lain sebagainya. Keharaman perbuatan tersebut gugur dengan keislaman seseorang, sebagai baginya sama seperti sesuatu yang tidak diharamkan. Dengan keislamannya, Allah telah menolerir pengharaman akad dan serah terima yang tidak sah tersebut, sehingga perbuatan tersebut dimaafkan baginya, dan ia tak ubahnya seperti orang yang melakukan akad dan serah terima yang tidak diharamkan. Akad dan serah terima tersebut baginya sama seperti akad dan serah terima yang sah bagi umat Islam. Karena itu, akad-akad rusak yang mereka transaksikan itu diakui kepemilikannya atas mereka jika mereka masuk Islam atau bermahkamah kepada kita.
Demikian pula dengan akad nikah yang dinyatakan tidak sah sebelum ia dihukumi dengan syari’at dan sebelum pelakunya masuk Islam. Lain halnya dengan sesuatu yang belum mereka serah terimakan karena setelah masuk Islam mereka tidak boleh melakukan serah terima yang diharamkan, sebagaimana mereka tidak boleh melakukan akad yang diharamkan. Hal ini ditegaskan di tempatnya sesuai dengan firman Allah,
ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Baqarah [2]: 278)
Allah memerintahkan mereka untuk meninggalkan sisa-sisa riba yang tercela, tetapi Allah tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan harta yang telah dikuasai. Nabi g bersabda,
مَنْ أَسْلَمَ عَلَى شَيْءٍ فَهُوَ لَهُ
“Barangsiapa yang masuk Islam dalam keadaan menguasai sesuatu, maka sesuatu itu menjadi miliknya.”[1]
Nabi g juga bersabda,
وَأَيُّمَا قَسَمٍ قُسِمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ عَلَى مَا قُسِمَ، وَأَيُّمَا قَسَمٍ أَدْرَكَهُ الْإِسْلاَمُ فَهُوَ عَلَى قَسَمِ الْإِسْلاَمِ
“Bagian apa saja yang dibagikan di masa jahiliyah, maka ia diberlakukan sesuai pembagian itu. Dan bagian apa saja yang dilakukan di masa Islam, maka ia harus sesuai dengan pembagian Islam.”[2]
Pernikahan orang-orang jahiliyah yang diadakan di masa jahiliyah diakui, meskipun banyak di antaranya tidak diperkenankan dalam Islam.
Pendapat ini sepertinya disepakati di antara para imam yang masyhur, tetapi ada perbedaan pendapat yang janggal dalam beberapa kasusnya.
Adapun harta umat Islam yang dikuasai oleh orang-orang kafir harbi kemudian mereka masuk Islam, ia tetap menjadi hak orang-orang tersebut sesuai Sunnah Rasulullah g, kesepakatan generasi salaf, dan mayoritas para imam. Pendapat ini diredaksikan dari Ahmad dan merupakan madzhabnya yang kuat.
Pengajuan hukum kepada mahkamah Islam dalam kasus seperti ini, jika mereka memegang perjanjian keamanan dan perdamaian, maka kita mengakui hak mereka dalam kasus ini. Ketentuan ini berlaku dalam hak-hak yang wajib baginya sesuai keyakinannya dalam agama kafirnya, meskipun penyebabnya diharamkan dalam agama Islam.
Adapun terkait sanksi, seseorang tidak diberi sanksi atas perbuatan haram yang ia kerjakan sebelum masuk Islam, baik ia meyakini keharamannya atau tidak. Ia tidak diberi sanksi atas pembunuhan, riba, pencurian dan lain-lain, baik ia melakukannya terhadap orang Islam atau sesama pemeluk agamanya. Alasannya adalah karena jika ia melakukannya pada orang Islam, maka ia meyakini hal itu boleh bagi mereka. Dan jika ia melakukannya pada sesama mereka, maka itu hukumnya boleh dalam agama Islam meskipun ia meyakini hal itu dilarang.
Karena itu, kami mengatakan bahwa perampasan harta yang dilakukan oleh orang-orang kafir dari tangan sesama mereka tidak diberikan sanksinya setelah mereka masuk Islam meskipun mereka meyakini keharamannya. Jadi, manakala suatu perbuatan hukumnya mubah dalam agamanya atau dalam agama Islam, maka sanksi dihilangkan.
Akan tetapi, jika suatu perbuatan diharamkan dalam dua agama, seperti seseorang yang memiliki perjanjian dengan umat Islam, maka mereka menanggung kerusakan yang mereka timbulkan atas jiwa dan harta benda. Mereka juga diberi sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan terhadap umat Islam, dan atas perbuatan zina. Tetapi ada perbedaan pendapat mengenai minum khamer. Namun jika perjanjian mereka adalah dengan pihak selain umat Islam seperti kasus Mughirah bin Syu’bah, maka ketentuan tersebut tidak berlaku.

Referensi: Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyyah
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/





[1] HR. Abu Ya’la (5847), Al Baihaqi dalam kitab Sunan Al Kubra (9/113) dengan komentar, “Yasin bin Mu‘adz Az-Zayyat adalah periwayat Kufah yang statusnya lemah. Ia dinilai cacat oleh Yahya bin Ma’in, Al Bukhari dan para penghafal hadits lainnya.” Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam kitab Al Kamil (7/184) dan Al Haitsami dalam kitab Majma’ Az-Zawa’id (5/338, 339).
Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan dalam sanadnya terdapat Yasin bin Mu‘adz Az-Zayyat yang statusnya matruk (riwayatnya ditinggalkan).”
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Al Mathalib Al ‘Aliyah (2002).
[2] HR. Abu Daud dalam pembahasan tentang perkara-perkara fardhu (2914), Ibnu Majah dalam pembahasan tentang gadai (2485), keduanya dari Ibnu Abbas, Ibnu Majah dalam pembahasan tentang perkara-perkara fardhu (2749) dari Ibnu ‘Umar.
Al Bushairi dalam kitab Az-Zawa’id mengatakan, “Sanadnya lemah karena lemahnya Ibnu Lahi’ah.” 

Saturday, April 19, 2014

Penelitian Terhadap Perbedaan Pendapat

Penelitian Terhadap Perbedaan Pendapat

Pendapat Imam Syafi’i bahwa jika seseorang pada masa kafirnya ada hal yang mewajibkan mandi maka ia ketika masuk Islam wajib mandi, jika tidak ada maka tidak wajib adalah pendapat yang tidak didukung oleh dalil, karena tidak ada hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi SAW menjelaskan tentang orang yang masuk Islam, seandainya wajib pastilah Nabi menanyakan mereka dan seandainya Ia menanyakannya maka akan diriwayatkan dengan hadits yang mutawatir, karena banyaknya orang yang masuk Islam di hadapan para sahabat.


Tinggallah pendapat yang menyatakan wajib ataupun sunnah secara mutlak. Ada dua riwayat tentang kisah Tsumaamah bin Utsal, salah satunya adalah bahwa Nabi bersabda:


إِذْهَبُوْا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلاَنٍ فَمُرُوْهُ أَنْ يَغْتَسِلَ


“Bawa pergilah ia oleh kalian ke kebun Bani Fulan dan perintahkanlah untuk mandi” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah).


Hadits tersebut didukung dengan hadits Qais bin Ashim bahwa ia masuk Islam, lalu Nabi SAW merintahkannya untuk mandi dengan air dan daun bidara. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, ia menilai hadits ini hasan.


Adapun riwayat yang kedua yang terdapat dalam hadits Bukhari dan Muslim tentang kisah masuk Islamnya Tsumamah, sesungguhnya ia pergi dengan sendirinya lalu mandi kemudian masuk Islam. Mandinya Tsumamah merupakan suatu penetapannya kepada Nabi SAW bukan perintah baginya, hal ini tidak menunjukkan wajibnya mandi sebagaimana menurut ulama ushul.


Oleh karena itu pendapat yang tepat adalah hukumnya sunnah bagi seorang kafir yang masuk Islam bukannya wajib berdasarkan hal-hal berikut:


1. Mereka yang masuk Islam dalam jumlah besar, seandainya setiap individu diperintahkan untuk mandi pastilah diriwayatkan dengan hadits yang mutawatir dan gamblang.


2. Nabi SAW mengutus Mu’adz ke Yaman seraya bersabda: “Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan Kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya,” seandainya mandi itu wajib maka pasti Nabi memerintahkannya karena merupakan kewajiban orang Islam yang pertama.


Al Khithaby berkata: mayoritas ulama berpendapat dengan sunnahnya mandi bukan wajib.


Sunnahnya mandi berdasarkan riwayat lain dari Imam Ahmad dan dipilih oleh mayoritas pengikut Imam Hanbali, ia berkata dalam kitab Al Inshaaf, “Hukum sunnah lebih Utama.” Oleh karena itu hadits Qais bin Ashim dan hadits Tsumaamah bin Utsaal ditafsirkan dengan hukum sunnah. Para Ulama sepakat atas perintah mandi, hanya saja ada sebagian mereka berpendapat hukumnya wajib dan sebagian lagi berpendapat sunnah.


referensi: Bulughul Maram
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/

Friday, April 18, 2014

Kitab Thanarah

KITAB THAHARAH

        1- أَخْبَرَنَا الرَّبِيع، أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ، أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ، رَجُلٍ مِنْ آلِ ابْنِ الأَزْرَقِ، أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ، أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
            1. Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi'i mengabarkan kepada kami, Malik menceritakan kepada kami dari Shafwan bin Sulaim, dari Sa'id bin Salamah –seorang laki-laki dari keluarga Ibnu Al Azraq-, bahwa Al Muhgirah bin Abi Burdah –seorang laki-laki dari Bani Abdud Dar- mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah g, "Wahai Rasulullah, kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu dengan menggunakan air tersebut maka kami akan kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?."
            Nabi g menjawab, "Laut itu airnya suci lagi mensucikan, bangkainya pun halal."[1]

Penjelasan:
            Malik adalah imam Darul Hijrah (Madinah Al Munawwarah), Abu Abdillah bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al Ashbahi Al Madani. Beliau adalah ulama rujukan di dua tanah Haram. Buku-bukunya menyebar luas, pengikutnya banyak dan madzhabnya terkenal di kalangan masyarakat.
            Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i bahwa beliau berkata tentang karya imam Malik, Al Muwaththa`, "Setelah Kitab Allah, tidak ada kitab yang lebih banyak benarnya daripada Al Muwaththa` karya imam Malik."
            Harun Ar-Rasyid berencana menggantung kitab Al Muwaththa` di dalam Ka'bah lalu menginstruksikan kepada kaum muslimin agar mengamalkan isinya, tapi imam Malik melarangnya karena sifat Wara'-nya. Beliau berkata, "Sesungguhnya para Sahabat Rasulullah g menyebar di berbagai negeri dan mereka berselisih pendapat. Setiap orang punya ijtihadnya sendiri-sendiri. Biarkanlah masyarakat mengambil (apa yang mereka sukai) dari mereka."
            Diriwayatkan bahwa jika beliau duduk di majlisnya, beliau tidak akan berbicara sebelum mengucapkan, "Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahuan pada kami kecuali yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
            Beliau lahir pada tahun 94 atau 95 Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah dan dimakamkan di Al Baqi'.[2]
            Shafwan bin Sulaim Abu Al Harits, ada pula yang menyebutnya Abu Abdillah. Beliau adalah Maula Humaid Ibnu Abdurrahman bin Auf. Beliau mendengar dari Atha` bin Yasar dan Humaid bin Abdurrahman.
            Para perawi yang meriwayatkan darinya adalah: Malik, Sufyan bin Uyainah, Ad-Darawardi dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 124 Hijriyah.
            Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah bahwa dia berkata, "Bila aku melihatnya, aku mengetahui bahwa dia sangat takut kepada Allah SWT."[3]
            Sa'id bin Salamah, ada pula yang menyebutnya Al Makhzumi. Adalah berasal dari keluarga [Ibnu][4] Al Azraq. Sebagian ulama menyebut namanya terbalik menjadi dua nama. Ada yang menyebutnya "Salamah bin Sa'id", dan sebagian lainnya ada yang menyebutnya "Abdullah bin Sa'id."
            Beliau meriwayatkan dari Sa'id, Amru bin Al Harits dan lain-lainnya.[5]
            Al Mughirah bin Abi Burdah adalah perawi yang berasal dari Bani Abdu Dar. Ulama yang meriwayatkan darinya adalah Yahya bin Sa'id Al Anshari. Sedangkan beliau meriwayatkan dari Abu Hurairah dan tokoh-tokoh lainnya.
            Sebagian tokoh ada yang keliru menyebut namanya dengan mengatakan "Al Mughirah bin Abi Barr".[6] Sedangkan sebagian lainnya menggantikan posisinya dalam sanad dengan "Abdullah bin Al Mughirah". Tapi yang paling tepat adalah nama yang pertama.[7]
            Abu Hurairah[8] Ad-Dausi adalah salah seorang Sahabat terkenal. Namanya setelah masuk Islam adalah Abdurrahman atau Abdullah, sedang namanya pada masa Jahiliyah adalah Abdu Syams atau Abdu Ghanam atau Abdu Naham atau Sukain atau Amir. Masing-masing memiliki pendapat tersendiri, dan ada pula yang berpendapat bahwa beliau memiliki nama lain. Beliau menetap di Madinah. Beliau datang menghadap Nabi g dan masuk Islam pada saat terjadi perang Khaibar. Beliau wafat […][9] pada tahun (1/3-B) pada tahun 73 Hijriyah. Usianya mencapai 100 tahun tapi giginya tidak rontok dan orang yang mengenalnya tidak ada yang mengingkarinya.
            Dari Naufal bin Abi 'Aqrab: Bahwa Al Hajjaj menemui Asma` setelah putranya, Abdullah bin Az-Zubair tewas, lalu dia bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah kulakukan terhadap musuh Allah, Ibnu Az-Zubair?."
            Asma` menjawab, "Menurutku engkau telah membinasakan dunianya sedang dia telah membinasakan akhiratmu. Aku mendengar bahwa engkau mencela putra Dzatu An-Nithaqain. Tentang Nithaq, akulah yang membawa makanan dengan Nithaq tersebut untuk ayahku dan Rasulullah g saat keduanya berada di dalam gua. Sedangkan Nithaq yang lain adalah yang harus kupakai (di pinggang). Aku teringat sabda Rasulullah g,

        يَكُوْنُ فِي ثَقِيفٍ كَذَّابًا وَمُبِيرًا فَأَمَّا الْكَذَّابُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ، وَأَمَّا الْمُبِيرُ فَلاَ إِخَالُهُ إِلاَّ أَنْتَ. فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا مُتَغَيِّرًا وَجْهُهُ.
            'Nanti dari Bani Tsaqif akan ada tokoh perusak dan pendusta besar. Tentang pendusta besar aku telah melihatnya, sedangkan tokoh perusak, aku tidak menduganya kecuali engkau'.
            Maka Al Hajjaj keluar dari hadapan Asma` dengan raut muka berubah."[10]
            Sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i, hadits ini juga diriwayatkan[11] dari Sufyan oleh Al Humaidi[12] dan Ibnu Abi Umar. At-Tirmidzi[13] mengeluarkan hadits ini dari riwayatnya. Sedangkan yang meriwayatkan dari Malik seperti yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i adalah Abdullah bin Yusuf. Al Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahih-nya[14] dari riwayatnya, dan juga Abdullah bin [Maslamah][15]. Abu Daud[16] juga meriwayatkan hadits ini dari riwayatnya. Sedangkan yang meriwayatkan dari Hisyam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah adalah Malik, Hammad bin Salamah, Yahya bin Sa'id, Ibnu Numair, Waki'[17] dan Abu Khalid Al Ahmar. Sedangkan yang meriwayatkan dari Fatimah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hisyam adalah Muhammad bin Ishaq. 
            Hadits tentang bab ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan.
            الَحُتُّ adalah mengerik dengan ujung kayu dan jenisnya, sedang القَرْصُ adalah menggosok dengan jari dan sejenisnya. Akar katanya adalah Qarasha Yaqrushu. Maksud menggosok dengan air adalah menggunakan air untuk melunakan pakaian tersebut agar darahnya hilang bersama air tersebut. Ada pula yang mengatakan bahwa arti Uqrushihi Bil Ma'i adalah bilaslah ia dengan ujung jari-jarimu dengan menggunakan air. الرَّشُّ adalah menyiram air secara terpisah (menciprati). Dari kata inilah rintik hujan dinamakan Rasysyun
            Redaksi, "Ar-Rabi' mengabarkan kepadaku di awal kitab", maksudnya adalah Kitab Thaharah. Riwayat pertama seperti riwayat kedua baik secara sanad maupun matan-nya. Akan tetapi pada yang kedua ditolak karena sebagian penisbatan Sufyan, Hisyam, Fatimah dan Asma`; Fatimah adalah isteri Sufyan sedang Asma` adalah nenek nenek Fatimah. Jadi penyebutannya mengandung beberapa faedah. Kemudian dalam riwayat Sufyan disebutkan bahwa Asma` berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah g", sedangkan dalam riwayat Malik disebutkan, "Bahwa dia berkata: aku bertanya kepada isteri Rasulullah g". Ini bisa diartikan pada riwayat kedua tersebut. Bisa pula Asma` bertanya kepada Nabi dan bertanya kepada selain perempuan tersebut, dan masing-masing riwayat berbentuk pertanyaan. Al Baihaqi menyebutkan bahwa yang benar adalah "Seorang perempuan bertanya."
            Adapun perkataan Asma` عَنْ دَمِ الْحَيْضِ "Tentang darah haid", bisa dibaca dengan harakat kasrah yaitu kondisi yang dialami perempuan tersebut dan bisa pula dibaca fathah yaitu satu kali haidh. Pelafazhan ini lebih kuat berdasarkan redaksi pada riwayat pertama "Tentang darah haidh."
            Redaksi فَلْتَقْرِصْهُ dibaca dengan ringan dan sesuai dengan redaksi pada riwayat pertama اقْرِصِيْهِ, dan juga dibaca فَلْتَقَرِّصْهُ dengan tasydid.
            Redaksi وَلْتَنْضَحَهُ بِاْلَمَاءِ, imam Asy-Syafi'i menafsirkannya dengan "Mencuci (membasuh)". Kata An-Nadh-hu artinya adalah menyiram, menciprati dan mencuci. Tentang arti mencuci adalah berdasarkan riwayat dalam sebagian hadits, َِلْيَنْضَحْ فَرْجَهُ,[18] yakni beristinjalah dengan air. Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits, حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ ثُمَّ اغْسِلِيْهِ بِالْمَاءِ "Keriklah lalu gosoklah kemudian siramlah dengan air."[19]
            Imam Asy-Syafi'i menjadikan hadits ini sebagai landasan hukum dalam dua masalah:[20]
            Pertama: Bahwa menyentuh sesuatu yang najis tidak mewajibkan wudhu; karena Nabi g hanya menyuruh mengerik darah haidh yaitu dengan kuku dan ujung jari dan tidak menyuruh berwudhu.
            Kedua: Untuk mencuci najis tidak perlu dengan bilangan tertentu, karena Nabi menyebut kata menyiram dengan air secara mutlak dan membolehkan shalat setelah itu.
            Hadits ini juga bisa dijadikan landasan hukum untuk menyimpulkan hal-hal berikut ini:
1.    Tidak ada bedanya antara darah yang seukuran uang dirham atau yang lebih besar darinya.
2.    Tidak ada bedanya antara bagian yang ditemukan dengan bagian yang tidak ditemukan.
3.    Memaafkan sisa darah yang masih ada setelah digosok dan disiram, karena Nabi g membolehkan shalat secara mutlak setelah itu.
4.    Perintah mengerik dan menggosok secara zahir menunjukkan wajib dan hal ini bisa dimengerti. Tapi mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Orang yang menganggap Sunnah juga cenderung menganggap wajib, karena anjurannya mencakup keduanya.
5.    Sebagian ulama menjadikan redaksi hadits, "Kemudian bilaslah dengan air" dan redaksi hadits "Kemudian siramlah (cipratilah) dengan air" sebagai landasan hukum bahwa harus dengan menggunakan air.
6.    Seorang perempuan diperbolehkan bertanya kepada seorang mufti dalam hal-hal yang berkaitan dengan haidh, dan pertanyaannya seputar haidh tidak merusak rasa malu yang terpuji. Karena kalau tidak demikian, tentunya Nabi g akan memberi nasehat kepada si perempuan penanya agar melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang dilakukannya.




[1]      Al Musnad, hal. 7.
       HR. Abu Daud (84); At-Tirmidzi (69); An-Nasa`i (1/50, 7/207); Ibnu Majah (386, 3246); Ibnu Al Jarud (43); Ibnu Khuzaimah (1111); Ibnu Hibban (243); Al Hakim (1/237); semuanya dari jalur Malik. At-Tirmidzi berkata, "Hasan Shahih."
       At-Tirmidzi mengutip dari Al 'Ilal Hal. (41) dari Al Bukhari bahwa dia berkata, "Hadits ini Shahih."
       Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhish (1/8 No.1); "Ibnu Mandah memilih pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini Shahih. Ibnu Al Mundzir dan Abu Muhammad Al Baghawi juga menilainya Shahih."
       Aku mengatakan, "Hadits ini juga dinilai Shahih oleh syeikh Al Albani dalam Al Irwa' (9)."
[2]      Lih. At-Tarikh Al Kabir (7/Biografi 1323); Al Jarh Wa At-Ta'dil (8/Biografi 902); At-Tahdzib (27/Biografi 5728).
[3]      Lih. At-Tarikh Al Kabir (4/Biografi 1328); Al Jarh Wa At-Ta'dil (4/Biografi 1858); At-Tahdzib (13/Biografi 2282).
[4]      Ralat ini diambil dari sumber-sumber Takhrij.
[5]      Lih. At-Tarikh Al Kabir (3/Biografi 1599); Al Jarh Wa At-Ta'dil (4/Biografi 115); At-Tahdzib (10/Biografi 2289).
[6]      Demikianlah yang tertulis dalam manuskrip asli.
[7]      Lih. At-Tarikh Al Kabir (7/Biografi 1389); Al Jarh Wa At-Ta'dil (8/Biografi 983); At-Tahdzib (28/Biografi 6123).
[8]      Lih. Ma'rifah Ash-Shahabah (4/1846,1885). Di dalamnya disebutkan, "Beliau wafat di Al 'Aqiq, ada pula yang mengatakan di Madinah pada tahun 7 Hijriyah, ada pula yang mengatakan tahun 8 Hijriyah, dan ada pula yang mengatakan tahun 59 Hijriyah pada masa pemerintahan Muawiyah Radhiyallahu Anhu.
[9]      Manuskripnya beralih dari (1/Q3-A) sampai (1/Q3-B) sampai penjelasan hadits Asma` Radhiyallahu Anhu tentang darah haidh yang mengenai pakaian. Dengan demikian maka hadits No. 2-6 hilang dan Syarahnya juga hilang. Disini perlu saya sebutkan hadits-hadits tersebut dengan mengambil dari Al Musnad dan memberinya komentar secara ringkas.
       Hadits [2]: Ats-Tsiqah (perawi Tsiqah) memberitakan kepada kami dari Al Walid bin Katsir dari Muhammad bin Abbad dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah g bersabda,
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجِسَا أَوْ خَبَثًا
"Apabila air mencapai dua qullah, ia tidak akan membawa najis atau kotoran."
       Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (64); At-Tirmidzi (67); An-Nasa`i (1/46); Ibnu Majah (517); Ibnu Al Jarud (44/92); Ibnu Khuzaimah (92); Ibnu Hibban (1249,1253); Al Hakim (1/224); seluruhnya dari jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya. Al Hakim berkata, "Shahih sesuai syarat Asy-Syaikhan". Ibnu Al Mulaqqin berkata dalam Al Khulashah (1/8 No.3) dan dinilai shahih oleh Ibnu Mandah, Ath-Thahawi, Al Baihaqi dan Al Khaththabi.
       Aku mengatakan, "Hadits ini juga dinilai Shahih oleh Al Albani dalam Al Irwa' (1/60 No. 23). Dia berkata, "Pernyataan sebagian ulama bahwa hadits ini mudhtharib ditolak, sebagaimana yang telah aku uraikan dalam Shahih Abi Daud (56-58)."
       Perawi Tsiqah yang dimaksud disini adalah Hammad bin Usamah bin Zaid Al Qurasyi, Abu Usamah Al Kufi, Maula Bani Hasyim. Ada pula yang berpendapat bahwa beliau adalah orang lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak. Beliau meriwayatkan dari Ats-Tsauri, Syu'bah, Al A'masy dan tokoh-tokoh lainnya.
       Beliau dinilai Tsiqah oleh Ahmad dan Ibnu Ma'in dan wafat pada tahun 201 Hijriyah.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (3/Biografi 113); Al Jarh Wa At-Ta'dil (3/Biografi 600); dan At-Tahdzib (7/Biografi 1471).
       Al Walid bin Katsir adalah Al Qurasyi Al Makhzumi, Maula mereka, Abu Muhammad Al Madani, tinggal di Kufah. Beliau meriwayatkan dari Sa'id Al Maqburi, Az-Zuhri dan Nafi' Maula Ibnu Umar.
       Beliau dinilai Tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Abu Daud dan Ibnu Hibban.
       Lih. Biografinya dalam Al Jarh Wa At-Ta'dil (9/Biografi 62); At-Tahdzib (31/Biografi 6733).
       Muhammad bin Abbad adalah Ibnu Ja'far bin Rifa'ah bin Umayyah bin Aidz Al Qurasyi Al Makhzumi Al Makki.
       Beliau meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
       Beliau dinilai Tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Abu Zur'ah dan Ibnu Hibban.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (1/Biografi 528); Al Jarh Wa At-Ta'dil (8/Biografi 56); dan At-Tahdzib (25/Biografi 5320).
       Abdullah bin Abdullah adalah Ibnu Umar bin Al Khaththab Al Qurasyi Al 'Adwi, Abu Abdirrahman Al Madani. Beliau meriwayatkan dari ayahnya, Ibnu Umar dan Abu Hurairah.
       Beliau dinilai Tsiqah Waki', Abu Zur'ah dan An-Nasa`i.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (5/Biografi 368); Al Jarh Wa At-Ta'dil (5/Biografi 411); dan At-Tahdzib (15/Biografi 3366).
       Ayahnya adalah: Abdullah bin Umar bin Al Khaththab Al Qurasyi Al 'Adwi, Abu Abdirrahman Al Makki Al Madani, seorang Sahabat mulia. Dikatakan bahwa beliau wafat pada tahun 73 Hijriyah dan ada pula yang mengatakan tahun 74 Hijriyah. Lih. Biografinya dalam Ma'rifah Ash-Shahabah (3/Biografi 1695); Al Ishabah (4/Biografi 4837).
       Hadits [3]: Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah h, bahwa Rasulullah g bersabda,
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ مِنْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
"Apabila anjing minum pada bejana salah seorang dari kalian, hendaklah dia mencucinya tujuh kali."
       Hadits [4]: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah h, bahwa Rasulullah g bersabda,
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
"Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, hendaklah dia mencucinya tujuh kali."
       Abu Az-Zinad adalah Abdullah bin Dzakwan Al Qurasyi, Abu Abdirrahman Al Madani. Beliau meriwayatkan dari Aban bin Utsman, Ibnu Al Musayyab dan Asy-Sya'bi.
       Para perawi yang meriwayatkan darinya adalah Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah dan Al A'masy.
       Beliau dinilai Tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ahmad and Abu Hatim.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (5/Biografi 228); Al Jarh Wa At-Ta'dil (5/Biografi 227); dan At-Tahdzib (14/Biografi 3253).
       Al A'raj adalah Abdurrahman bin Hurmuz, Abu Daud Al Madani. Beliau meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Sa'id Al Khudri dan Abu Hurairah.
       Beliau dinilai Tsiqah Ibnu Sa'd, Abu Zur'ah dan Ibnu Al Madini.
       Sufyan bin Uyainah adalah Ibnu Abi 'Imran Abu Muhammad Al Kufi.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (4/Biografi 1082); Al Jarh Wa At-Ta'dil (4/Biografi 973); dan At-Tahdzib (11/Biografi 2413).
       Hadits ini Shahih Muttafaq 'Alaih: Diriwayatkan oleh Al Bukhari (172) dari Abdullah bin Yusuf, dan Muslim (279/90) dari Yahya bin Yahya, keduanya dari Malik.
       Hadits [5]: Ibnu Uyainah memberitakan kepada kami dari Ayyub bin Abi Tamimah, dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah h, bahwa Rasulullah g bersabda,
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِتُرَابٍ
"Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, hendaklah dia mencucinya tujuh kali, yang pertama atau yang terakhir dicampur dengan debu."
       Ayyub bin ABi Tamimah adalah As-Sakhtiyani Abu Bakar Al Bashri. Beliau pernah melihat Anas bin Malik dan dinilai Tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Sa'd dan An-Nasa`i.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (4/Biografi 1307); Al Jarh Wa At-Ta'dil (1/Biografi 4); dan At-Tahdzib (3/Biografi 457).
       Ibnu Sirin adalah Muhammad bin Sirin Al Anshari, Abu Bakar bin Abi 'Amrah Al Anshari. Beliau dinilai Tsiqah oleh Ahmad, Ibnu Ma'in dan Ibnu Sa'd.
       Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al Kabir (1/Biografi 241); Al Jarh Wa At-Ta'dil (7/Biografi 1518); dan At-Tahdzib (25/Biografi 344).
       Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (279/91) dari Zuhair bin Harb dari Ismail bin Ibrahim dari Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin.
       An-Nawawi berkata dalam Syarah Muslim, "Hadits ini merupakan dalil yang jelas bagi madzhab Syafi'i dan madzhab-madzhab lainnya yang mengatakan najisnya anjing; karena suci itu ada yang dari hadats atau najis, sedang disini bukan hadats, jadi jelaslah bahwa ia najis. Bila ada yang mengatakan, "Yang dimaksud adalah Thaharah secara bahasa"; jawabannya adalah bahwa menafsirkan suatu kata menurut hakekat Syariat harus didahulukan atas penafsiran secara bahasa. Hadits ini juga merupakan dalil bahwa sesuatu yang dijilat anjing tersebut hukumnya najis. Bila yang dijilat berupa makanan cair, maka haram dimakan, karena dengan membuangnya maka berarti membuang najis tersebut. Seandainya ia suci tentu kita tidak akan disuruh membuangnya, malah justru kita akan dilarang menyia-nyiakan harta. Inilah madzhab kami dan madzhab Jumhur, bahwa sesuatu yang dijilat anjing hukumnya najis. Adapun dalam madzhab Malik, dalam Hal. ini ada empat pendapat.
       Hadits [6]: Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari Fatimah dari Asma`, dia berkata: aku bertanya kepada Nabi g tentang darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab,
حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ بِالْمَاءِ ثُمَّ رُشِّيهِ فَصَلِّى فِيهِ
"Keriklah lalu bilas (gosok) dengan air kemudian cipratilah (siramlah) lalu shalatlah dengannya."
       Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami dari Asy-Syafi'i di awal kitab.
       Hadits [7]: Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah mengabarkan kepada kami bahwa dia mendengar isterinya, Fatimah binti Al Mundzir berkata, "Aku mendengar nenekku, Asma` binti Abu Bakar berkata, "Aku menanyakan kepada Nabi g tentang darah haidh", lalu dia menyebutkan haditsnya (sama dengan sebelumnya).
       Hadits [8]: Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti Al Mundzir, dari Asma` binti Abu Bakar, dia berkata: seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah g, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu bila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh, apa yang harus dilakukannya?" Jawab Nabi g,
إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الْحَيْضَةِ ، فَلْتَقْرِصْهُ ، ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
"Bila darah haidh mengenai pakaian salah seorang dari kalian, keriklah lalu siramlah dengan air kemudian shalatlah dengannya."
       Hisyam adalah Ibnu Urwah bin Az-Zubair bin Al Awwam Al Qurasyi. Dia dinilai Tsiqah oleh Ibnu Sa'd dan Abu Hatim. Lih. At-Tarikh Al Kabir (8/Biografi 2673); Al Jarh Wa At-Ta'dil (9/Biografi 249); At-Tahdzib (30/232).
       Fatimah adalah binti Al Mundzir bin Az-Zubair bin Al Awwam Al Qurasyiyyah Al Asadiyyah, isteri Hisyam bin Urwah. Lih. At-Tahdzib (35/Biografi 7906).
       Asma` adalah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, isteri Az-Zubair bin Al Awwam.
       Beliau meriwayatkan dari Nabi g dan dijuluki "Dzatu An-Nithaqain."
       Lih. Ma'rifah Ash-Shahabah (6/Biografi 3769); Al Ishabah (7/Biografi 10798). Kemudian akhir dari tulisan yang hilang ditandai dengan biografi beliau (Asma`) h.      
[10]     HR. Muslim dengan redaksi yang sama –Pembahasan: Pendusta dan Perusak Dari Tsaqif. (2545/229).
[11]     Yaitu hadits Asma` yang telah disebutkan dalam footnote sebelumnya No. 8.
[12]     Musnad Al Humaidi (320).
[13]     Jami' At-Tirmidzi (138).
[14]     Shahih Al Bukhari (306).
[15]     Dalam manuskrip asli tertulis salah yaitu "Salamah". Ralatnya diambil dari As-Sunan. Abdullah bin Maslamah adalah Al Qa'nabi.
[16]     Sunan Abi Daud (365).
[17]     Riwayatnya ini dikeluarkan oleh Muslim (291/110) dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
[18]     HR. Al Bukhari (132); Muslim (303/17-19) dari hadits Ali, dia berkata, "Aku adalah laki-laki yang sering mengeluarkan madzi …."
       Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud (209); An-Nasa`i (1/67) dan Ibnu Majah (505) dari hadits Al Miqdad tentang kisah madzi yang akan disebutkan dalam kitab-kitab, insya Allah.
[19]     Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhish (1/55 No. 26); "Adapun yang menggunakan redaksi "Kemudian siramlah dengan air", ini disebutkan oleh syeikh Taqiyuddin dalam Al Ilmam dari riwayat Muhammad bin Ishaq bin Yasar dari Fatimah binti Al Mundzir dari Asma`."
[20]     Al Umm (1/58). 

Referensi: Musnad Imam Ahmad
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/