KITAB
THAHARAH
1- أَخْبَرَنَا
الرَّبِيع، أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ، أَخْبَرَنَا
مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ،
رَجُلٍ مِنْ آلِ ابْنِ الأَزْرَقِ، أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ
مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ، أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ،
يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ
الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ
الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ
الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
1. Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami,
Asy-Syafi'i mengabarkan kepada kami, Malik menceritakan kepada kami dari
Shafwan bin Sulaim, dari Sa'id bin Salamah –seorang laki-laki dari keluarga Ibnu
Al Azraq-, bahwa Al Muhgirah bin Abi Burdah –seorang laki-laki dari Bani Abdud
Dar- mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata: Seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah g, "Wahai Rasulullah,
kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu dengan
menggunakan air tersebut maka kami akan kehausan, apakah kami boleh berwudhu
dengan air laut?."
Nabi g menjawab,
"Laut itu airnya suci lagi mensucikan, bangkainya pun halal."[1]
Penjelasan:
Malik adalah imam Darul Hijrah
(Madinah Al Munawwarah), Abu Abdillah bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al
Ashbahi Al Madani. Beliau adalah ulama rujukan di dua tanah Haram. Buku-bukunya
menyebar luas, pengikutnya banyak dan madzhabnya terkenal di kalangan
masyarakat.
Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i bahwa
beliau berkata tentang karya imam Malik, Al Muwaththa`, "Setelah
Kitab Allah, tidak ada kitab yang lebih banyak benarnya daripada Al
Muwaththa` karya imam Malik."
Harun Ar-Rasyid berencana
menggantung kitab Al Muwaththa` di dalam Ka'bah lalu menginstruksikan
kepada kaum muslimin agar mengamalkan isinya, tapi imam Malik melarangnya
karena sifat Wara'-nya. Beliau berkata, "Sesungguhnya para Sahabat
Rasulullah g menyebar di berbagai
negeri dan mereka berselisih pendapat. Setiap orang punya ijtihadnya
sendiri-sendiri. Biarkanlah masyarakat mengambil (apa yang mereka sukai) dari
mereka."
Diriwayatkan bahwa jika beliau duduk
di majlisnya, beliau tidak akan berbicara sebelum mengucapkan, "Maha Suci
Engkau, tidak ada pengetahuan pada kami kecuali yang telah Engkau ajarkan
kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Beliau lahir pada tahun 94 atau 95
Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah dan dimakamkan di Al Baqi'.[2]
Shafwan bin Sulaim Abu Al Harits,
ada pula yang menyebutnya Abu Abdillah. Beliau adalah Maula Humaid Ibnu
Abdurrahman bin Auf. Beliau mendengar dari Atha` bin Yasar dan Humaid bin
Abdurrahman.
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah bahwa
dia berkata, "Bila aku melihatnya, aku mengetahui bahwa dia sangat takut
kepada Allah SWT."[3]
Sa'id bin Salamah, ada pula yang
menyebutnya Al Makhzumi. Adalah berasal dari keluarga [Ibnu][4]
Al Azraq. Sebagian ulama menyebut namanya terbalik menjadi dua nama. Ada yang menyebutnya
"Salamah bin Sa'id", dan sebagian lainnya ada yang menyebutnya
"Abdullah bin Sa'id."
Beliau meriwayatkan dari Sa'id, Amru
bin Al Harits dan lain-lainnya.[5]
Al Mughirah bin Abi Burdah adalah
perawi yang berasal dari Bani Abdu Dar. Ulama yang meriwayatkan darinya adalah
Yahya bin Sa'id Al Anshari. Sedangkan beliau meriwayatkan dari Abu Hurairah dan
tokoh-tokoh lainnya.
Sebagian tokoh ada yang keliru
menyebut namanya dengan mengatakan "Al Mughirah bin Abi Barr".[6]
Sedangkan sebagian lainnya menggantikan posisinya dalam sanad dengan
"Abdullah bin Al Mughirah". Tapi yang paling tepat adalah nama yang
pertama.[7]
Abu Hurairah[8]
Ad-Dausi adalah salah seorang Sahabat terkenal. Namanya setelah masuk Islam
adalah Abdurrahman atau Abdullah, sedang namanya pada masa Jahiliyah adalah
Abdu Syams atau Abdu Ghanam atau Abdu Naham atau Sukain atau Amir.
Masing-masing memiliki pendapat tersendiri, dan ada pula yang berpendapat bahwa
beliau memiliki nama lain. Beliau menetap di Madinah. Beliau datang menghadap
Nabi g dan masuk Islam pada saat terjadi perang Khaibar. Beliau
wafat […][9]
pada tahun (1/3-B) pada tahun 73 Hijriyah. Usianya mencapai 100 tahun tapi
giginya tidak rontok dan orang yang mengenalnya tidak ada yang mengingkarinya.
Dari Naufal bin Abi 'Aqrab: Bahwa Al
Hajjaj menemui Asma` setelah putranya, Abdullah bin Az-Zubair tewas, lalu dia
bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah kulakukan
terhadap musuh Allah, Ibnu Az-Zubair?."
Asma` menjawab, "Menurutku
engkau telah membinasakan dunianya sedang dia telah membinasakan akhiratmu. Aku
mendengar bahwa engkau mencela putra Dzatu An-Nithaqain. Tentang Nithaq,
akulah yang membawa makanan dengan Nithaq tersebut untuk ayahku dan
Rasulullah g saat keduanya berada di
dalam gua. Sedangkan Nithaq yang lain adalah yang harus kupakai (di
pinggang). Aku teringat sabda Rasulullah g,
يَكُوْنُ
فِي ثَقِيفٍ كَذَّابًا وَمُبِيرًا فَأَمَّا الْكَذَّابُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ، وَأَمَّا
الْمُبِيرُ فَلاَ إِخَالُهُ إِلاَّ أَنْتَ. فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا مُتَغَيِّرًا
وَجْهُهُ.
'Nanti dari Bani Tsaqif akan ada
tokoh perusak dan pendusta besar. Tentang pendusta besar aku telah melihatnya,
sedangkan tokoh perusak, aku tidak menduganya kecuali engkau'.
Maka Al Hajjaj keluar dari hadapan
Asma` dengan raut muka berubah."[10]
Sebagaimana diriwayatkan oleh
Asy-Syafi'i, hadits ini juga diriwayatkan[11]
dari Sufyan oleh Al Humaidi[12]
dan Ibnu Abi Umar. At-Tirmidzi[13]
mengeluarkan hadits ini dari riwayatnya. Sedangkan yang meriwayatkan dari Malik
seperti yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i adalah Abdullah bin Yusuf. Al Bukhari
juga meriwayatkan dalam Shahih-nya[14]
dari riwayatnya, dan juga Abdullah bin [Maslamah][15].
Abu Daud[16] juga
meriwayatkan hadits ini dari riwayatnya. Sedangkan yang meriwayatkan dari
Hisyam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah adalah Malik, Hammad bin
Salamah, Yahya bin Sa'id, Ibnu Numair, Waki'[17]
dan Abu Khalid Al Ahmar. Sedangkan yang meriwayatkan dari Fatimah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Hisyam adalah Muhammad bin Ishaq.
Hadits tentang bab ini juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan.
الَحُتُّ adalah
mengerik dengan ujung kayu dan jenisnya, sedang القَرْصُ adalah menggosok dengan jari
dan sejenisnya. Akar katanya adalah Qarasha
Yaqrushu. Maksud menggosok dengan air adalah menggunakan air untuk
melunakan pakaian tersebut agar darahnya hilang bersama air tersebut. Ada pula yang mengatakan
bahwa arti Uqrushihi Bil Ma'i adalah
bilaslah ia dengan ujung jari-jarimu dengan menggunakan air. الرَّشُّ adalah menyiram air secara terpisah (menciprati).
Dari kata inilah rintik hujan dinamakan Rasysyun.
Redaksi, "Ar-Rabi' mengabarkan
kepadaku di awal kitab", maksudnya adalah Kitab Thaharah. Riwayat pertama
seperti riwayat kedua baik secara sanad maupun matan-nya. Akan tetapi pada yang
kedua ditolak karena sebagian penisbatan Sufyan, Hisyam, Fatimah dan Asma`;
Fatimah adalah isteri Sufyan sedang Asma` adalah nenek nenek Fatimah. Jadi
penyebutannya mengandung beberapa faedah. Kemudian dalam riwayat Sufyan
disebutkan bahwa Asma` berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah
g",
sedangkan dalam riwayat Malik disebutkan, "Bahwa dia berkata: aku bertanya
kepada isteri Rasulullah g". Ini bisa diartikan
pada riwayat kedua tersebut. Bisa pula Asma` bertanya kepada Nabi dan bertanya
kepada selain perempuan tersebut, dan masing-masing riwayat berbentuk
pertanyaan. Al Baihaqi menyebutkan bahwa yang benar adalah "Seorang
perempuan bertanya."
Adapun perkataan Asma` عَنْ دَمِ الْحَيْضِ "Tentang darah haid", bisa dibaca dengan harakat kasrah yaitu kondisi yang dialami
perempuan tersebut dan bisa pula dibaca fathah yaitu satu kali haidh. Pelafazhan
ini lebih kuat berdasarkan redaksi pada riwayat pertama "Tentang darah
haidh."
Redaksi فَلْتَقْرِصْهُ dibaca dengan ringan dan
sesuai dengan redaksi pada riwayat pertama اقْرِصِيْهِ, dan juga dibaca فَلْتَقَرِّصْهُ dengan tasydid.
Redaksi وَلْتَنْضَحَهُ بِاْلَمَاءِ, imam Asy-Syafi'i
menafsirkannya dengan "Mencuci (membasuh)". Kata An-Nadh-hu artinya adalah menyiram, menciprati dan mencuci. Tentang
arti mencuci adalah berdasarkan riwayat dalam sebagian hadits, َِلْيَنْضَحْ فَرْجَهُ,[18] yakni
beristinjalah dengan air. Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits, حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ ثُمَّ اغْسِلِيْهِ بِالْمَاءِ "Keriklah lalu gosoklah kemudian siramlah dengan air."[19]
Imam Asy-Syafi'i menjadikan hadits
ini sebagai landasan hukum dalam dua masalah:[20]
Pertama: Bahwa
menyentuh sesuatu yang najis tidak mewajibkan wudhu; karena Nabi
g
hanya menyuruh mengerik darah haidh yaitu dengan kuku dan ujung jari dan tidak
menyuruh berwudhu.
Kedua: Untuk mencuci
najis tidak perlu dengan bilangan tertentu, karena Nabi menyebut kata menyiram
dengan air secara mutlak dan membolehkan shalat setelah itu.
Hadits ini juga bisa dijadikan landasan
hukum untuk menyimpulkan hal-hal berikut ini:
1.
Tidak ada bedanya antara
darah yang seukuran uang dirham atau yang lebih besar darinya.
2.
Tidak ada bedanya antara
bagian yang ditemukan dengan bagian yang tidak ditemukan.
3.
Memaafkan sisa darah yang
masih ada setelah digosok dan disiram, karena Nabi
g
membolehkan shalat secara mutlak setelah itu.
4.
Perintah mengerik dan
menggosok secara zahir menunjukkan wajib dan hal ini bisa dimengerti. Tapi
mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Orang yang menganggap Sunnah
juga cenderung menganggap wajib, karena anjurannya mencakup keduanya.
5.
Sebagian ulama menjadikan
redaksi hadits, "Kemudian bilaslah dengan air" dan redaksi
hadits "Kemudian siramlah (cipratilah) dengan air" sebagai
landasan hukum bahwa harus dengan menggunakan air.
6.
Seorang perempuan diperbolehkan
bertanya kepada seorang mufti dalam hal-hal yang berkaitan dengan haidh, dan
pertanyaannya seputar haidh tidak merusak rasa malu yang terpuji. Karena kalau
tidak demikian, tentunya Nabi g akan memberi nasehat
kepada si perempuan penanya agar melakukan hal yang bertentangan dengan apa
yang dilakukannya.
[1] Al Musnad, hal. 7.
HR. Abu Daud (84); At-Tirmidzi (69);
An-Nasa`i (1/50, 7/207); Ibnu Majah (386, 3246); Ibnu Al Jarud (43); Ibnu
Khuzaimah (1111); Ibnu Hibban (243); Al Hakim (1/237); semuanya dari jalur
Malik. At-Tirmidzi berkata, "Hasan Shahih."
At-Tirmidzi mengutip dari Al 'Ilal
Hal. (41) dari Al Bukhari bahwa dia berkata, "Hadits ini Shahih."
Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhish (1/8
No.1); "Ibnu Mandah memilih pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini Shahih.
Ibnu Al Mundzir dan Abu Muhammad Al Baghawi juga menilainya Shahih."
Aku mengatakan, "Hadits ini juga
dinilai Shahih oleh syeikh Al Albani dalam Al Irwa' (9)."
[2] Lih. At-Tarikh Al Kabir (7/Biografi
1323); Al Jarh Wa At-Ta'dil (8/Biografi 902); At-Tahdzib (27/Biografi
5728).
[3] Lih. At-Tarikh Al Kabir (4/Biografi
1328); Al Jarh Wa At-Ta'dil (4/Biografi 1858); At-Tahdzib (13/Biografi
2282).
[4] Ralat ini diambil dari sumber-sumber
Takhrij.
[5] Lih. At-Tarikh Al Kabir (3/Biografi
1599); Al Jarh Wa At-Ta'dil (4/Biografi 115); At-Tahdzib (10/Biografi
2289).
[6] Demikianlah yang tertulis dalam manuskrip
asli.
[7] Lih. At-Tarikh Al Kabir (7/Biografi
1389); Al Jarh Wa At-Ta'dil (8/Biografi 983); At-Tahdzib (28/Biografi
6123).
[8] Lih. Ma'rifah Ash-Shahabah (4/1846,1885).
Di dalamnya disebutkan, "Beliau wafat di Al 'Aqiq, ada pula yang
mengatakan di Madinah pada tahun 7 Hijriyah, ada pula yang mengatakan tahun 8
Hijriyah, dan ada pula yang mengatakan tahun 59 Hijriyah pada masa pemerintahan
Muawiyah Radhiyallahu Anhu.
[9] Manuskripnya beralih dari (1/Q3-A) sampai
(1/Q3-B) sampai penjelasan hadits Asma` Radhiyallahu Anhu tentang darah
haidh yang mengenai pakaian. Dengan demikian maka hadits No. 2-6 hilang dan
Syarahnya juga hilang. Disini perlu saya sebutkan hadits-hadits tersebut dengan
mengambil dari Al Musnad dan memberinya komentar secara ringkas.
Hadits [2]: Ats-Tsiqah (perawi Tsiqah)
memberitakan kepada kami dari Al Walid bin Katsir dari Muhammad bin Abbad dari
Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah g
bersabda,
إِذَا كَانَ
الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجِسَا أَوْ خَبَثًا
"Apabila air mencapai dua qullah, ia tidak akan membawa
najis atau kotoran."
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud
(64); At-Tirmidzi (67); An-Nasa`i (1/46); Ibnu Majah (517); Ibnu Al Jarud
(44/92); Ibnu Khuzaimah (92); Ibnu Hibban (1249,1253); Al Hakim (1/224);
seluruhnya dari jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya. Al Hakim
berkata, "Shahih sesuai syarat Asy-Syaikhan". Ibnu Al Mulaqqin
berkata dalam Al Khulashah (1/8 No.3) dan dinilai shahih oleh
Ibnu Mandah, Ath-Thahawi, Al Baihaqi dan Al Khaththabi.
Aku mengatakan, "Hadits ini juga
dinilai Shahih oleh Al Albani dalam Al Irwa' (1/60 No. 23). Dia
berkata, "Pernyataan sebagian ulama bahwa hadits ini mudhtharib
ditolak, sebagaimana yang telah aku uraikan dalam Shahih Abi Daud (56-58)."
Perawi Tsiqah yang dimaksud disini
adalah Hammad bin Usamah bin Zaid Al Qurasyi, Abu Usamah Al Kufi, Maula Bani
Hasyim. Ada pula yang berpendapat bahwa beliau adalah orang lain, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak. Beliau meriwayatkan
dari Ats-Tsauri, Syu'bah, Al A'masy dan tokoh-tokoh lainnya.
Beliau dinilai Tsiqah oleh Ahmad
dan Ibnu Ma'in dan wafat pada tahun 201 Hijriyah.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (3/Biografi 113); Al Jarh Wa At-Ta'dil (3/Biografi 600); dan At-Tahdzib
(7/Biografi 1471).
Al Walid bin Katsir adalah Al Qurasyi Al
Makhzumi, Maula mereka, Abu Muhammad Al Madani, tinggal di Kufah. Beliau
meriwayatkan dari Sa'id Al Maqburi, Az-Zuhri dan Nafi' Maula Ibnu Umar.
Beliau dinilai Tsiqah oleh Ibnu
Ma'in, Abu Daud dan Ibnu Hibban.
Lih. Biografinya dalam Al Jarh Wa
At-Ta'dil (9/Biografi 62); At-Tahdzib (31/Biografi 6733).
Muhammad bin Abbad adalah Ibnu Ja'far bin
Rifa'ah bin Umayyah bin Aidz Al Qurasyi Al Makhzumi Al Makki.
Beliau meriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Beliau dinilai Tsiqah oleh Ibnu
Ma'in, Abu Zur'ah dan Ibnu Hibban.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (1/Biografi 528); Al Jarh Wa At-Ta'dil (8/Biografi 56); dan At-Tahdzib
(25/Biografi 5320).
Abdullah bin Abdullah adalah Ibnu Umar
bin Al Khaththab Al Qurasyi Al 'Adwi, Abu Abdirrahman Al Madani. Beliau
meriwayatkan dari ayahnya, Ibnu Umar dan Abu Hurairah.
Beliau dinilai Tsiqah Waki', Abu
Zur'ah dan An-Nasa`i.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (5/Biografi 368); Al Jarh Wa At-Ta'dil (5/Biografi 411); dan At-Tahdzib
(15/Biografi 3366).
Ayahnya adalah: Abdullah bin Umar bin Al
Khaththab Al Qurasyi Al 'Adwi, Abu Abdirrahman Al Makki Al Madani, seorang
Sahabat mulia. Dikatakan bahwa beliau wafat pada tahun 73 Hijriyah dan ada pula
yang mengatakan tahun 74 Hijriyah. Lih. Biografinya dalam Ma'rifah
Ash-Shahabah (3/Biografi 1695); Al Ishabah (4/Biografi 4837).
Hadits [3]: Malik mengabarkan
kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah h, bahwa Rasulullah g
bersabda,
إِذَا شَرِبَ
الْكَلْبُ مِنْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
"Apabila anjing minum pada bejana salah seorang dari
kalian, hendaklah dia mencucinya tujuh kali."
Hadits [4]: Sufyan bin Uyainah
mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah h, bahwa Rasulullah g
bersabda,
إِذَا وَلَغَ
الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
"Apabila
anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, hendaklah dia mencucinya
tujuh kali."
Abu Az-Zinad adalah Abdullah bin Dzakwan
Al Qurasyi, Abu Abdirrahman Al Madani. Beliau meriwayatkan dari Aban bin
Utsman, Ibnu Al Musayyab dan Asy-Sya'bi.
Para perawi yang meriwayatkan darinya
adalah Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah dan Al A'masy.
Beliau dinilai Tsiqah oleh Ibnu Ma'in,
Ahmad and Abu Hatim.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (5/Biografi 228); Al Jarh Wa At-Ta'dil (5/Biografi 227); dan At-Tahdzib
(14/Biografi 3253).
Al A'raj adalah Abdurrahman bin Hurmuz,
Abu Daud Al Madani. Beliau meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Sa'id Al Khudri
dan Abu Hurairah.
Beliau dinilai Tsiqah Ibnu Sa'd,
Abu Zur'ah dan Ibnu Al Madini.
Sufyan bin Uyainah adalah Ibnu Abi 'Imran
Abu Muhammad Al Kufi.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (4/Biografi 1082); Al Jarh Wa At-Ta'dil (4/Biografi 973); dan At-Tahdzib
(11/Biografi 2413).
Hadits ini Shahih Muttafaq
'Alaih: Diriwayatkan oleh Al Bukhari (172) dari Abdullah bin Yusuf, dan
Muslim (279/90) dari Yahya bin Yahya, keduanya dari Malik.
Hadits [5]: Ibnu Uyainah
memberitakan kepada kami dari Ayyub bin Abi Tamimah, dari Ibnu Sirin dari Abu
Hurairah h, bahwa
Rasulullah g bersabda,
إِذَا وَلَغَ
الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ
أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِتُرَابٍ
"Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari
kalian, hendaklah dia mencucinya tujuh kali, yang pertama atau yang terakhir
dicampur dengan debu."
Ayyub bin ABi Tamimah adalah
As-Sakhtiyani Abu Bakar Al Bashri. Beliau pernah melihat Anas bin Malik dan
dinilai Tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Sa'd dan An-Nasa`i.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (4/Biografi 1307); Al Jarh Wa At-Ta'dil (1/Biografi 4); dan At-Tahdzib
(3/Biografi 457).
Ibnu Sirin adalah Muhammad bin Sirin Al
Anshari, Abu Bakar bin Abi 'Amrah Al Anshari. Beliau dinilai Tsiqah oleh
Ahmad, Ibnu Ma'in dan Ibnu Sa'd.
Lih. Biografinya dalam At-Tarikh Al
Kabir (1/Biografi 241); Al Jarh Wa At-Ta'dil (7/Biografi 1518); dan At-Tahdzib
(25/Biografi 344).
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim
(279/91) dari Zuhair bin Harb dari Ismail bin Ibrahim dari Hisyam bin Hassan
dari Ibnu Sirin.
An-Nawawi berkata dalam Syarah Muslim,
"Hadits ini merupakan dalil yang jelas bagi madzhab Syafi'i dan
madzhab-madzhab lainnya yang mengatakan najisnya anjing; karena suci itu ada
yang dari hadats atau najis, sedang disini bukan hadats, jadi jelaslah bahwa ia
najis. Bila ada yang mengatakan, "Yang dimaksud adalah Thaharah secara
bahasa"; jawabannya adalah bahwa menafsirkan suatu kata menurut hakekat
Syariat harus didahulukan atas penafsiran secara bahasa. Hadits ini juga
merupakan dalil bahwa sesuatu yang dijilat anjing tersebut hukumnya najis. Bila
yang dijilat berupa makanan cair, maka haram dimakan, karena dengan membuangnya
maka berarti membuang najis tersebut. Seandainya ia suci tentu kita tidak akan
disuruh membuangnya, malah justru kita akan dilarang menyia-nyiakan harta.
Inilah madzhab kami dan madzhab Jumhur, bahwa sesuatu yang dijilat anjing
hukumnya najis. Adapun dalam madzhab Malik, dalam Hal. ini ada empat pendapat.
Hadits [6]: Sufyan bin Uyainah
mengabarkan kepada kami dari Hisyam dari Fatimah dari Asma`, dia berkata: aku
bertanya kepada Nabi g tentang darah haidh yang
mengenai pakaian. Beliau menjawab,
حُتِّيهِ ثُمَّ
اقْرُصِيهِ بِالْمَاءِ ثُمَّ رُشِّيهِ فَصَلِّى فِيهِ
"Keriklah lalu bilas (gosok) dengan air kemudian
cipratilah (siramlah) lalu shalatlah dengannya."
Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami dari
Asy-Syafi'i di awal kitab.
Hadits [7]: Sufyan
bin Uyainah menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah mengabarkan kepada kami
bahwa dia mendengar isterinya, Fatimah binti Al Mundzir berkata, "Aku
mendengar nenekku, Asma` binti Abu Bakar berkata, "Aku menanyakan kepada
Nabi g tentang darah haidh", lalu dia menyebutkan haditsnya
(sama dengan sebelumnya).
Hadits [8]: Malik
mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti Al Mundzir,
dari Asma` binti Abu Bakar, dia berkata: seorang perempuan bertanya kepada
Rasulullah g, "Wahai Rasulullah,
bagaimana menurutmu bila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh,
apa yang harus dilakukannya?" Jawab Nabi g,
إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ
إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الْحَيْضَةِ ، فَلْتَقْرِصْهُ ، ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ
بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
"Bila darah haidh mengenai pakaian salah seorang dari
kalian, keriklah lalu siramlah dengan air kemudian shalatlah dengannya."
Hisyam adalah Ibnu Urwah bin Az-Zubair
bin Al Awwam Al Qurasyi. Dia dinilai Tsiqah oleh Ibnu Sa'd dan Abu
Hatim. Lih. At-Tarikh Al Kabir (8/Biografi 2673); Al Jarh Wa
At-Ta'dil (9/Biografi 249); At-Tahdzib (30/232).
Fatimah adalah binti Al Mundzir bin
Az-Zubair bin Al Awwam Al Qurasyiyyah Al Asadiyyah, isteri Hisyam bin Urwah.
Lih. At-Tahdzib (35/Biografi 7906).
Asma` adalah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq,
isteri Az-Zubair bin Al Awwam.
Beliau meriwayatkan dari Nabi
g dan
dijuluki "Dzatu An-Nithaqain."
Lih. Ma'rifah Ash-Shahabah (6/Biografi
3769); Al Ishabah (7/Biografi 10798). Kemudian akhir dari tulisan yang
hilang ditandai dengan biografi beliau (Asma`) h.
[10] HR. Muslim dengan redaksi yang sama
–Pembahasan: Pendusta dan Perusak Dari Tsaqif. (2545/229).
[11] Yaitu hadits Asma` yang telah disebutkan
dalam footnote sebelumnya No. 8.
[12] Musnad Al Humaidi (320).
[13] Jami' At-Tirmidzi (138).
[14] Shahih Al Bukhari (306).
[15] Dalam manuskrip asli tertulis salah yaitu
"Salamah". Ralatnya diambil dari As-Sunan. Abdullah bin Maslamah
adalah Al Qa'nabi.
[16] Sunan Abi Daud (365).
[17] Riwayatnya ini dikeluarkan oleh Muslim
(291/110) dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
[18] HR. Al Bukhari (132); Muslim (303/17-19)
dari hadits Ali, dia berkata, "Aku adalah laki-laki yang sering
mengeluarkan madzi …."
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu
Daud (209); An-Nasa`i (1/67) dan Ibnu Majah (505) dari hadits Al Miqdad tentang
kisah madzi yang akan disebutkan dalam kitab-kitab, insya Allah.
[19] Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhish
(1/55 No. 26); "Adapun yang menggunakan redaksi "Kemudian siramlah
dengan air", ini disebutkan oleh syeikh Taqiyuddin dalam Al Ilmam
dari riwayat Muhammad bin Ishaq bin Yasar dari Fatimah binti Al Mundzir dari
Asma`."
[20] Al Umm (1/58).
Referensi: Musnad Imam Ahmad
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment