Friday, April 18, 2014

Profil (Biografi) Imam Asy-Syafi’i

Profil (Biografi) Imam Asy-Syafi’i[1]
           
(Beliau adalah) Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa‘ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib. Beliau adalah seorang imam yang alim pada masanya, pembela hadits dan ahli fikih agama Islam, Abu Abdillah Al Qurasyi Al Muththalibi Asy-Syafi’i Al Makki, kelahiran Ghuzzah (Gaza) yang masih memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah g dan putra pamannya, karena Al Muththalib adalah saudara laki-laki Hasyim, ayah Abdul Muththalib.
  
A. Kelahiran & Pertumbuhannya
Imam Asy-Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah, tahun wafatnya imam Abu Hanifah An-Nu’man r.
Pendapat terkenal yang dipegang Jumhur ulama adalah bahwa beliau lahir di Ghuzzah (Gaza). Ada pula yang berpendapat bahwa beliau lahir di Asqalan dan ada pula yang berpendapat bahwa beliau lahir di Yaman.
Al Baihaqi berkata, “Seluruh riwayat menyatakan bahwa beliau lahir di Ghuzzah lalu pindah ke Asqalan lalu ke Makkah selama beberapa bulan.”[2]
Ayahnya, Idris, wafat dalam usia masih muda, lalu beliau tumbuh sebagai anak yatim yang diasuh ibunya. Kemudian karena takut Syafi’i kecil akan terlantar, maka ibunya memboyongnya ke Makkah saat berusia 2 tahun. Selanjutnya beliau tumbuh besar di Makkah.

B. Menuntut Ilmu
Imam Asy-Syafi’i h mulai menuntut ilmu sejak kecil. Sebelumnya beliau belajar memanah hingga menjadi paling hebat di antara teman-temannya. Dari 10 anak panah, 9 di antaranya berhasil mengenai sasaran. Kemudian beliau belajar Bahasa Arab dan Syair hingga menguasai seluruhnya dengan sempurna.
Imam Asy-Syafi’i berkata tentang dirinya sendiri, “Aku seorang anak yatim yang diasuh ibuku, lalu ibuku mendorongku agar belajar di sekolah dasar, padahal ibuku tidak memiliki uang untuk membayar guru, tapi untungnya sang guru mau aku ikuti bila dia telah berdiri (selesai mengajar). Setelah aku berhasil menghapal seluruh Al Qur`an, aku masuk masjid untuk mengikuti kajian para ulama. Aku mendengarkan hadits dan permasalahan lalu menghapalnya. Ketika itu ibuku tidak bisa memberiku uang untuk membeli kertas, maka aku melihat tulang belulang lalu mengambilnya dan menulis di atasnya. Setelah tulang-tulang tersebut penuh dengan tulisan, aku membuangnya ke dalam guci sehingga aku memiliki sebuah guci besar (yang berisi tulang belulang).”[3]
Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi berkata: Pada mulanya Asy-Syafi’i belajar syair, sejarah dan sastra, lalu setelah itu beliau belajar fikih. Adapun sebab beliau belajar fikih adalah: Pada suatu hari beliau mengendarai ontanya dan di belakangnya ada sekretaris Ubay, lalu beliau membaca bait syair, kemudian sekretaris Ubay menepuknya dengan cemeti seraya berkata, “Orang sepertimu akan kehilangan wibawa bila membaca seperti itu, di manakah ilmu fikihmu?.”
Kata Mush’ab lebih lanjut, “Beliau pun kaget mendengarnya. Lalu beliau menghadiri kajian ilmiah (pengajian) Az-Zanji bin Khalid, seorang mufti Makkah. Setelah itu beliau datang menemui kami dan nyantri pada imam Malik bin Anas.”[4]
Di negerinya (Makkah), imam Asy-Syafi’i belajar ilmu kepada: Muslim bin Khalid Az-Zanji, mufti Makkah, Daud bin Abdurrahman Al ’Aththar, pamannya Muhammad bin Ali bin Syafi’, putra paman Al Abbas, kakek Asy-Syafi’i, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakar Al Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ’Iyadh dan beberapa ulama lainnya.
Saat berusia 20 tahun lebih dalam posisi telah menjadi mufti dan imam, beliau melakukan lawatan ke Madinah dan mentransfer Al Muwaththa` dari Malik bin Anas yang beliau tunjukkan kepadanya berdasarkan hapalannya. Ada pula yang berpendapat bahwa beliau menunjukkan Al Muwaththa` kepadanya berdasarkan hapalannya terhadap mayoritas isi kitab tersebut. Beliau juga mentransfer banyak ilmu dari Ibrahim bin Abi Yahya, Abdul Aziz Ad-Darawardi, ’Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan ulama-ulama sekelas mereka.
Di Yaman beliau mentransfer ilmu dari Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al Qadhi dan beberapa ulama lainnya.
Di Baghdad beliau mentransfer ilmu dari Muhammad bin Al Hasan, pakar fikih Irak. Beliau nyantri dengannya dan mentransfer banyak ilmu darinya. Beliau juga belajar kepada Ismail bin ’Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan ulama-ulama lainnya.
Beliau mengarang banyak buku dan menyusun ilmu pengetahuan, membantah para imam dan mengikuti atsar. Beliau menyusun ilmu Ushul Fikih dan cabang-cabangnya. Reputasinya cemerlang dan banyak pelajar yang berguru kepadanya.  
Ulama-ulama yang mentransfer hadits darinya adalah: Al Humaidi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Ahmad bin Hambal, Sulaiman bin Daud Al Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al Buwaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abi Al Jarud Al Makki, Abdul Aziz Al Makki, pengarang Al Haidah, Husain bin Ali Al Karabisi, Ibrahim bin Al Mundzir Al Hizami, Al Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad Al Azraqi, Ahmad bin Sa’id Al Hamdani, Ahmad bin Abi Syuraih Ar-Razi, Ahmad bin Yahya bin Wazir Al Mishri, Ahmad bin Abdurrahman Al Wahabi, putra pamannya Ibrahim bin Muhammad Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahawaih, Ishaq bin Bahlul, Abu Abdirrahman Ahmad bin Yahya Asy-Syafi’i Al Mutakallim, Al Harits bin Suraij An-Naqqal, Hamid bin Yahya Al Balkhi, Sulaiman bin Daud Al Muhri, Abdul Aziz bin Imran bin Miqlash, Ali bin Ma’bad Ar-Raqi, Ali bin Salamah Al-Laqabi, Amru bin Sawad, Abu Hanifah Qahzam bin Abdullah Al Aswani, Muhammad bin Yahya Al ’Adni, Mas’ud bin Sahl Al Mishri, Harun bin Sa’id Al Aili, Ahmad bin Sinan Al Qaththan, Abu Ath-Thahir Ahmad bin Amru bin As-Sarh, Yunus bin Abdul A’la, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al Jizi, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Bahr bin Nashr Al Khaulani dan beberapa ulama lainnya.[5]

C. Manaqib dan Pendapat Ulama Tentang Beliau  
Para ulama besar baik dulu maupun sekarang menyusun Manaqib tentang imam ini. Meskipun ada sebagian orang yang berusaha menjatuhkan beliau, tapi beliau malah semakin harum dan mulia. Orang-orang yang adil (netral) menyatakan bahwa komentar tokoh-tokoh semasanya (yang menjatuhkan beliau) hanya diucapkan berdasarkan hawa nafsu. Jarang sekali orang yang telah mencapai tingkat imam dan membantah para penentangnya kecuali dia akan dimusuhi. Kita berlindung kepada Allah dari memperturutkan hawa nafsu. Dokumen-dokumen ini masih terlalu sempit bila dibandingkan dengan pujian para ulama terhadap beliau.
Kakeknya, As-Sa‘ib Al Muththalibi adalah salah seorang tokoh yang ikut perang Badar bersama kaum Jahiliyah lalu ditawan. Dia mirip dengan Nabi g. Ibunya adalah As-Syafa‘ binti Arqam bin Nadhlah, dan Nadhlah adalah saudara laki-laki Abdul Muththalib, kakek Nabi g. Dikatakan bahwa setelah menebus dirinya dia masuk Islam.
Putranya, Syafi’ adalah orang yang pernah melihat Nabi g dan termasuk salah seorang Sahabat kecil.
Putranya, Utsman adalah seorang Tabi'in. Aku tidak mengetahui riwayat besarnya.
Adapun paman-paman Asy-Syafi’i, mereka berasal dari Azd.
Al Muzani berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang wajahnya lebih tampan dari Asy-Syafi’i r. Terkadang beliau memegang jenggotnya hingga tidak ada yang terlepas dari genggamannya.”    
Abu Ubaid berkata, “Aku tidak melihat orang yang lebih berakal dari Asy-Syafi’i.”
Yunus Ash-Shadfi berkata, “Aku tidak melihat orang yang lebih berakal dari Asy-Syafi’i. Suatu hari aku berdiskusi dengannya tentang suatu permasalahan lalu kami berpisah, kemudian beliau menemuiku lalu memegang tanganku seraya berkata, “Wahai Abu Musa, tidakkah kita berteman meskipun kita tidak sepakat atas suatu permasalahan?!.”
Adz-Dzahabi berkata, “Ini menunjukkan kesempurnaan akal sang imam dan kesadarannya akan dirinya sendiri, karena orang-orang yang berdebat itu akan senantiasa berselisih pendapat.”
Ma’mar bin Syabib berkata: aku mendengar Al Ma‘mun berkata, “Aku telah menguji Muhammad bin Idris dalam segala hal, ternyata beliau orang yang sempurna.”
Ahmad bin Muhammad, putra dari putri Asy-Syafi’i berkata, “Aku mendengar ayah dan ibuku berkata, “Apabila Sufyan bin Uyainah ditanya tentang Tafsir dan fatwa, dia menoleh kepada Asy-Syafi’i seraya berkata, “Tanyakanlah kepada orang ini!.”
Tamim bin Abdullah berkata: aku mendengar Suwaid bin Sa’id berkata, “Ketika aku sedang di tempat Sufyan, dia datang lalu duduk dan meriwayatkan hadits ringan. Tiba-tiba Asy-Syafi’i jatuh pingsan, lalu dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, Muhammad bin Idris telah wafat” Maka Ibnu Uyainah berkata, “Bila beliau wafat, maka orang yang terbaik pada masanya telah wafat.”[6]

D. Akidah Beliau
Imam Asy-Syafi’i menganut akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan membenci akidah selain Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Al Hakim berkata: aku mendengar Abu Sa’id bin Abi Utsman, aku mendengar Al Hasan putra teman Asy-Syasyi, aku mendengar Ar-Rabi’, aku mendengar Asy-Syafi’i ditanya tentang Al Qur`an. Maka dia berkata, “Ah, Ah! Al Qur`an adalah Kalam Allah, barangsiapa mengatakan bahwa ia makhluk, maka dia telah kafir.”
Abu Daud dan Abu Hatim berkata: Dari Abu Tsaur, aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Tidak akan beruntung orang yang mendalami ilmu Kalam.”
Muhammad bin Yahya bin Adam berkata: Ibnu Abdil Hakam menceritakan kepada kami, aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Andai saja manusia mengetahui (bahaya) yang terdapat pada ilmu Kalam dan hawa nafsu (bid’ah), pasti mereka akan lari darinya seperti lari dari singa.”
Az-Zubair bin Abdul Wahid berkata: Ali bin Muhammad mengabarkan kepadaku di Mesir, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam menceritakan kepada kami, dia berkata, “Setelah Asy-Syafi’i berdebat dengan Hafsh Al Fard, beliau membenci Kalam. Beliau berkata, “Demi Allah, seandainya orang alim memberi fatwa lalu dikatakan “Orang alim itu salah”, itu lebih baik baginya daripada dia berbicara lalu dikatakan “Zindiq”. Sungguh tidak ada yang lebih aku benci daripada Kalam dan orang-orang yang menganutnya.”
Adz-Dzahabi berkata, “Ini menunjukkan bahwa madzhab Abu Abdillah adalah bahwa kesalahan dalam Ushul tidak sama dengan kesalahan Ijtihad dalam Furu’.”[7]
Al Muzani berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Barangsiapa belajar Al Qur`an, nilainya akan besar; barangsiapa berbicara fikih, kedudukannya akan naik; barangsiapa menulis hadits, hujjahnya akan kuat; barangsiapa belajar bahasa, tabiatnya akan lunak; barangsiapa belajar ilmu hitung, pendapatnya akan bermutu; dan barangsiapa yang tidak menjaga dirinya, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya.”
Abdullah bin Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari ayahnya. Katanya, “Apabila Asy-Syafi’i telah mengetahui validitas (kebenaran) suatu berita, beliau akan memegangnya dengan kuat. Hal terbaik yang selalu ada padanya adalah beliau tidak menyukai ilmu Kalam dan yang selalu diburunya adalah Fikih.”
Ar-Rabi’ berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Mira‘ (berdebat untuk menjatuhkan lawan) dalam agama akan membuat hati keras dan menimbulkan dendam.”
Kami mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Keputusan hukumku terhadap ahli Kalam adalah bahwa mereka harus dicambuk dengan pelepah korma lalu dinaikkan di atas onta kemudian diarak keliling kampung (diperlihatkan kepada suku-suku dan kabilah) seraya diumumkan, “Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan Al Qur`an dan Sunnah lalu mempelajari ilmu Kalam.”
Ar-Rabi’ berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Iman adalah ucapan dan perbuatan yang bertambah dan berkurang.”
Aku mendengar beliau mengatakan, “Allah akan mengampuni apa-apa yang terlintas dalam hati manusia dan mencatat perbuatan dan perkataan mereka.”
Diriwayatkan dari Asy-Syafi’i, dia berkata, “Tidaklah seseorang mendebatku dalam rangka melawan kebenaran kecuali dia akan jatuh dari kedua mataku; dan tidaklah seseorang menerima kebenaran kecuali aku akan mencintainya.”
Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: aku mendengar ayahku berkata: Asy-Syafi’i berkata, “Kalian lebih tahu hadits-hadits yang Shahih daripada kami. Bila ada hadits Shahih, kabarkanlah kepadaku agar aku bisa berangkat untuk mendapatkannya, baik pemiliknya orang Kufah, orang Bashrah atau orang Syam.”
Harmalah berkata: Asy-Syafi’i berkata, “Semua yang aku katakan, bila ada sabda Rasulullah g yang Shahih yang berbeda dengan ucapanku, maka ia lebih utama; dan janganlah kalian taklid kepadaku (mengikuti pendapatku secara membabi buta).”
Ar-Rabi’ berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Apabila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah g, ambillah ia dan tinggalkan apa yang kukatakan.”
Kudengar beliau berkata ketika ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah engkau akan mengambil hadits ini?” Jawab Asy-Syafi’i, “Bila aku meriwayatkan hadits Shahih dari Rasulullah g tapi tidak kuambil, saksikanlah oleh kalian bahwa akalku telah hilang.”
Al Humaidi berkata: Suatu hari Asy-Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits, lalu kutanyakan kepadanya, “Apakah engkau akan mengambilnya?” Jawabnya, “Apakah engkau pernah melihatku keluar dari gereja atau memakai ikat pinggang sehingga ketika kudengar hadits Rasulullah g aku tidak mengucapkannya?!.”
Ar-Rabi’ berkata: kudengar beliau mengatakan, “Langit mana tempat aku bernaung dan bumi mana tempat aku berpijak bila aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah g lalu tidak kuucapkan?!.”
Diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Apabila telah sah (shahih) suatu hadits, itulah madzhabku; dan bila telah sah suatu hadits, lemparkanlah ucapanku ke tembok!.”
Di antara ucapan-ucapan beliau adalah:
  •  “Seburuk-buruk bekal menuju akhirat adalah memusuhi hamba-hamba Allah.”
  •  Diriwayatkan dari beliau, “Tidaklah aku mengangkat seseorang di atas kedudukannya kecuali dia akan meletakkan padaku sesuai yang aku angkat.”
  •  Diriwayatkan dari beliau, “Rusaknya orang alim adalah bila dia tidak memiliki teman, dan rusaknya orang bodoh adalah bila akalnya sedikit; dan yang paling rusak dari keduanya adalah orang yang berteman dengan orang yang tidak berakal.”
  • dari beliau, “Bila kamu takut terkena ’ujub akan perbuatanmu, ingatlah keridhaan Dzat yang kamu minta, nikmat yang kamu sukai dan siksa yang kamu takuti. Barangsiapa berpikir demikian, dia akan merasakan bahwa amal perbuatannya kecil (tidak ada apa-apanya). Alat kepemimpinan ada lima: kebenaran dialek (bahasa), menyembunyikan rahasia, menepati janji, memulai nasehat dan menunaikan amanah.”
  • Muhammad bin ’Ashamah Al Juzajani berkata: aku mendengar Ar-Rabi’ berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i berkata, “Ada tiga macam yang merupakan obat bagi orang yang tidak memiliki obat dan para dokter telah diingatkan agar melakukan pengobatan dengannya: anggur, susu onta perahan dan tebu. Kalau bukan karena tebu, aku tidak akan tinggal di negeri kalian.” 
  • Kudengar beliau mengatakan, “Penglihatan pembantuku kabur dan tidak bisa melihat pintu rumah. Lalu aku mengambil sisa hati kemudian kugunakan untuk mencelak matanya, ternyata dia bisa melihat setelah itu.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Sungguh ajaib orang yang makan malam dengan telor rebus lalu tidur, bagaimana dia tidak mati?!.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Kacang brul dapat menambah otak sedang otak dapat menambah akal (kecerdasan).”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Aku tidak melihat obat yang lebih berguna untuk mengobati wabah daripada bunga violet yang dipakai sebagai minyak dan untuk diminum.”
  • Masih dari Asy-Syafi’i, “Ilmu adalah yang bermanfaat, bukan yang sekedar dihapal.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Orang cerdik lagi berakal adalah orang cerdas yang pura-pura lalai.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Andai saja aku tahu kalau air dingin akan mengurangi sifat Muru‘ah-ku, tentu aku tidak akan meminumnya.”
  • Beliau pernah ditanya, “Mengapa engkau sering memegang tongkat padahal engkau tidak lemah?” Jawabnya, “Supaya aku ingat bahwa aku seorang musafir.”
  • Beliau berkata, “Barangsiapa senantiasa memperturutkan hawa nafsu, dia akan senantiasa menjadi penyembah putra-putra dunia.”
  • Beliau berkata, “Kebaikan ada pada lima hal: jiwa yang merasa cukup, tidak menyakiti orang lain, mencari rezki yang halal, takwa dan percaya kepada Allah.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Simpanan paling bermanfaat adalah takwa dan simpanan yang paling berbahaya adalah permusuhan.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Menjauhi maksiat dan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat akan menerangi hati. Lakukanlah khalwat (menyendiri [menyepi]) dan jangan bergaul dengan orang-orang bodoh dan orang-orang yang tidak bisa berbuat adil terhadapmu. Bila engkau membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat, kata-kata tersebut akan menguasaimu dan engkau tidak bisa menguasainya.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Seandainya seseorang mewasiatkan sesuatu kepada orang paling berakal, maka dia akan pergi kepada orang-orang zuhud.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Siasat manusia lebih berat daripada siasat binatang melata.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Orang berakal adalah orang yang akalnya dihindarkan dari segala hal yang tercela.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Muru‘ah memiliki empat pilar: Budi pekerti mulia, dermawan, tawadhu’ dan (giat) beribadah.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Seorang laki-laki tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan empat hal: agama (yang kuat), amanah, menjaga (kehormatan) dan teguh (konsisten).”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Orang yang perlu kamu jilat bukanlah temanmu.”
  • Diriwayatkan dari beliau, “Orang yang menghasutmu akan menghasut (orang lain) untuk membencimu.”
  • Diriwayatkan dari beliau, katanya, “Tawadhu’ (rendah hati) adalah salah satu akhlak orang-orang mulia, sedang Takabur adalah salah satu akhlak orang-orang hina. Tawadhu’ akan melahirkan cinta, sedang Qana’ah akan melahirkan ketenangan.”
  • Beliau berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang kedudukannya tidak terlihat, dan orang yang paling banyak keutamaannya adalah orang yang tidak terlihat keutamaannya.”
  • Beliau berkata, “Tidaklah seseorang tertawa karena kesalahan orang lain kecuali kebenarannya akan tampak dalam hatinya.”



E. Karya-Karya Beliau[8]
  1. Ar-Risalah. Ini adalah kitab pertama yang dikarang tentang Ushul Fikih.
  2. Al Hujjah. Kitab ini didiktekan beliau kepada murid-muridnya di Irak. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dibahas di dalamnya, kitab ini tergolong madzhab Syafi’i yang Qadim (lama).
  3. Ahkam Al Qur`an. Kitab ini besar manfaatnya dan merupakan contoh bagus bagi penulisan fikih yang asli.
  4. Ibthal Al Ishtihsan. Kitab ini berisi bantahan terhadap Ulama Hanafiyah yang mengamalkan Istihsan.
  5. Jima’ Al ’Ilmi. Kitab ini merupakan pembelaan terhadap Sunnah dan seruan untuk mengamalkannya.
  6. Itsbat An-Nubuwwah Wa Ar-Radd ’Ala Al Barahimah.
  7. Al Mabsuth. Sebuah kitab fikih yang diriwayatkan darinya oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman dan Az-Za’farani.


 F. Wafatnya
          Imam Asy-Syafi’i h wafat pada tahun 204 Hijriyah di Mesir. Di tanah Mesir beliau wafat dan di sanalah beliau tumbuh dengan sempurna dan memiliki pendapat-pendapat yang matang. Di Mesir beliau melihat hal-hal yang belum pernah dilihat sebelumnya, seperti tradisi, peradaban dan jejak-jejak Tabi'in.


copy paste sertakan sumber http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/


[1] Lih. Biografinya dalam: At-Tarikh Al Kabir (1/42); Al Jarh Wa At-Ta’dil (7/201); Hilyah Al Auliya` (9/63-161); Manaqib Asy-Syafi’i karya Al Baihaqi (1/76); Tarikh Baghdad (2/56-76); Shafwatu Ash-Shafwah (2/265); Tahdzib Al Asma` Wa Ash-Shifat (1/44-67); Wafayat Al A’yan (4/163-169); Siyar A’lam An-Nubala` (10/5-99); Al Wafi Bi Al Wafayat (2/171-181); Al Bidayah Wa An-Nihayah (10/691-694); Thabaqat Asy-Syafi’iyyah karya Al Isnawi (1/11-14).
[2]  Manaqib Asy-Syafi’i karya Al Baihaqi (1/75).
[3]  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i Hal. 24, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (9/73); Al Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/92).
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/70-71); Al Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/96).
[5] Lih. Tarikh Baghdad (2/56-57); Siyar A’lam An-Nubala` (10/5-8).
[6]  Lih. Siyar A’lam An-Nubala` (10/17).
[7]  Lih. Siyar A’lam An-Nubala` (10/19).
[8]  Lih. Siyar A’lam An-Nubala` (10/5-99); Mu’jam Al Muallifin (3/116). 

No comments:

Post a Comment