Kaidah ini berbicara tentang kewajiban yang ditinggalkan oleh
orang kafir asli (bukan murtad) seperti shalat, zakat dan puasa, bahwa ia tidak
wajib mengqadhanya setelah masuk Islam berdasarkan pendapat yang disepakati,
karena kewajibannya belum berlaku. Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah
risalah telah sampai kepadanya atau belum, dan apakah kekafirannya disebabkan
ingkar, atau keras kepala, atau bodoh.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kafir dzimmi dan kafir harbi. Lain halnya dengan hak-hak yang wajib ditunaikan oleh orang
kafir dzimmi seperti membayar hutang,
menunaikan amanah, dan mengembalikan harta yang ia ambil tanpa seizin
pemiliknya. Kewajiban-kewajiban ini tidak gugur lantaran memeluk Islam karena
kewajiban itu telah melekat padanya sebelum masuk Islam.
Adapun kafir harbi murni,
ia tidak menanggung kewajiban apapun kepada umat Islam, baik dalam bentuk
ibadah atau dalam bentuk hak. Ia tidak wajib menunaikan kewajiban apapun, baik
berupa hak Allah atau hak umat Islam, meskipun ia tetap diberi sanksi lantaran
meninggalkan kewajiban tersebut seandainya ia tidak memeluk Islam. Alasannya
adalah karena Islam menutup segala sesuatu sebelumnya.
Demikian pula dengan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dalam Islam tetapi
dihalalkan dalam agamanya, seperti beberapa akad dan serah terima yang tidak
sah, riba, judi, penjualan khamer dan nabi, nikah tanpa wali dan saksi,
pengambilan harta umat Islam dengan cara paksa, dan lain sebagainya. Keharaman
perbuatan tersebut gugur dengan keislaman seseorang, sebagai baginya sama
seperti sesuatu yang tidak diharamkan. Dengan keislamannya, Allah telah
menolerir pengharaman akad dan serah terima yang tidak sah tersebut, sehingga
perbuatan tersebut dimaafkan baginya, dan ia tak ubahnya seperti orang yang
melakukan akad dan serah terima yang tidak diharamkan. Akad dan serah terima
tersebut baginya sama seperti akad dan serah terima yang sah bagi umat Islam.
Karena itu, akad-akad rusak yang mereka transaksikan itu diakui kepemilikannya
atas mereka jika mereka masuk Islam atau bermahkamah kepada kita.
Demikian
pula dengan akad nikah yang dinyatakan tidak sah sebelum ia dihukumi dengan
syari’at dan sebelum pelakunya masuk Islam. Lain halnya dengan sesuatu yang
belum mereka serah terimakan karena setelah masuk Islam mereka tidak boleh
melakukan serah terima yang diharamkan, sebagaimana mereka tidak boleh melakukan
akad yang diharamkan. Hal ini ditegaskan di tempatnya sesuai dengan firman
Allah,
ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Al Baqarah [2]: 278)
Allah
memerintahkan mereka untuk meninggalkan sisa-sisa riba yang tercela, tetapi
Allah tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan harta yang telah dikuasai.
Nabi g
bersabda,
مَنْ أَسْلَمَ عَلَى شَيْءٍ
فَهُوَ لَهُ
“Barangsiapa yang
masuk Islam dalam keadaan menguasai sesuatu, maka sesuatu itu menjadi
miliknya.”[1]
Nabi
g
juga bersabda,
وَأَيُّمَا قَسَمٍ قُسِمَ
فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ عَلَى مَا قُسِمَ، وَأَيُّمَا قَسَمٍ أَدْرَكَهُ الْإِسْلاَمُ فَهُوَ عَلَى قَسَمِ الْإِسْلاَمِ
“Bagian apa saja yang
dibagikan di masa jahiliyah, maka ia diberlakukan sesuai pembagian itu. Dan
bagian apa saja yang dilakukan di masa Islam, maka ia harus sesuai dengan
pembagian Islam.”[2]
Pernikahan
orang-orang jahiliyah yang diadakan di masa jahiliyah diakui, meskipun banyak
di antaranya tidak diperkenankan dalam Islam.
Pendapat
ini sepertinya disepakati di antara para imam yang masyhur, tetapi ada
perbedaan pendapat yang janggal dalam beberapa kasusnya.
Adapun
harta umat Islam yang dikuasai oleh orang-orang kafir harbi kemudian mereka masuk Islam, ia tetap menjadi hak orang-orang
tersebut sesuai Sunnah Rasulullah g, kesepakatan generasi salaf, dan mayoritas para imam. Pendapat
ini diredaksikan dari Ahmad dan merupakan madzhabnya yang kuat.
Pengajuan
hukum kepada mahkamah Islam dalam kasus seperti ini, jika mereka memegang
perjanjian keamanan dan perdamaian, maka kita mengakui hak mereka dalam kasus
ini. Ketentuan ini berlaku dalam hak-hak yang wajib baginya sesuai keyakinannya
dalam agama kafirnya, meskipun penyebabnya diharamkan dalam agama Islam.
Adapun
terkait sanksi, seseorang tidak diberi sanksi atas perbuatan haram yang ia
kerjakan sebelum masuk Islam, baik ia meyakini keharamannya atau tidak. Ia
tidak diberi sanksi atas pembunuhan, riba, pencurian dan lain-lain, baik ia
melakukannya terhadap orang Islam atau sesama pemeluk agamanya. Alasannya
adalah karena jika ia melakukannya pada orang Islam, maka ia meyakini hal itu
boleh bagi mereka. Dan jika ia melakukannya pada sesama mereka, maka itu
hukumnya boleh dalam agama Islam meskipun ia meyakini hal itu dilarang.
Karena
itu, kami mengatakan bahwa perampasan harta yang dilakukan oleh orang-orang
kafir dari tangan sesama mereka tidak diberikan sanksinya setelah mereka masuk
Islam meskipun mereka meyakini keharamannya. Jadi, manakala suatu perbuatan
hukumnya mubah dalam agamanya atau dalam agama Islam, maka sanksi dihilangkan.
Akan
tetapi, jika suatu perbuatan diharamkan dalam dua agama, seperti seseorang yang
memiliki perjanjian dengan umat Islam, maka mereka menanggung kerusakan yang
mereka timbulkan atas jiwa dan harta benda. Mereka juga diberi sanksi atas
pelanggaran yang mereka lakukan terhadap umat Islam, dan atas perbuatan zina.
Tetapi ada perbedaan pendapat mengenai minum khamer. Namun jika perjanjian
mereka adalah dengan pihak selain umat Islam seperti kasus Mughirah bin Syu’bah,
maka ketentuan tersebut tidak berlaku.
Referensi: Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyyah
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/
[1] HR. Abu Ya’la (5847), Al Baihaqi dalam kitab Sunan Al Kubra (9/113) dengan komentar,
“Yasin bin Mu‘adz Az-Zayyat adalah periwayat Kufah yang statusnya lemah. Ia
dinilai cacat oleh Yahya bin Ma’in, Al Bukhari dan para penghafal hadits
lainnya.” Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam kitab Al Kamil (7/184) dan Al Haitsami dalam
kitab Majma’ Az-Zawa’id (5/338, 339).
Al Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la,
dan dalam sanadnya terdapat Yasin bin Mu‘adz Az-Zayyat yang statusnya matruk (riwayatnya ditinggalkan).”
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Al Mathalib Al ‘Aliyah (2002).
[2] HR. Abu Daud dalam pembahasan tentang perkara-perkara fardhu
(2914), Ibnu Majah dalam pembahasan tentang gadai (2485), keduanya dari Ibnu Abbas,
Ibnu Majah dalam pembahasan tentang perkara-perkara fardhu (2749) dari Ibnu
‘Umar.
Al Bushairi dalam kitab Az-Zawa’id
mengatakan, “Sanadnya lemah karena lemahnya Ibnu Lahi’ah.”
No comments:
Post a Comment