Friday, April 18, 2014

Mengenal Musnad Asy-Syafi’i

Mengenal Musnad Asy-Syafi’i

Musnad Al Imam Asy-Syafi’i adalah Musnad yang terkenal di kalangan ahli hadits dan fikih. Kitab ini tidak dikarang oleh imam Asy-Syafi’i r, akan tetapi diperoleh dari riwayat Abu Al Abbas Al Asham dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi dari Asy-Syafi’i yang berasal dari kitab Al Umm dan kitab-kitab lainnya. Jadi kitab ini dinisbatkan kepada Asy-Syafi’i karena ia merupakan kumpulan riwayat-riwayat haditsnya; hanya saja ia tidak memuat seluruh riwayat Asy-Syafi’i dalam kitab-kitabnya.
Hal ini dinyatakan oleh imam Ar-Rafi’i dalam mukadimah Syarah-nya terhadap kitab ini. Dia menisbatkan penyusunan dan Takhrij ini kepada imam Abu Al Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf Al Asham.
Ibnu Hajar berkata dalam Ta’jil Al Manfa’ah, “Asy-Syafi’i tidak menyusun Musnad ini, akan tetapi ia disusun oleh sebagian ulama Naisabur yang diambil dari kitab Al Umm dan kitab-kitab lainnya yang merupakan hasil pendengaran Abu Al Abbas Al Asham yang diriwayatkannya secara menyendiri dari Ar-Rabi’. Dan masih banyak hadits-hadits riwayat Asy-Syafi’i yang tidak dicantumkan dalam Musnad ini. Bukti akan hal ini adalah perkataan imam para imam Abu Bakar Ibnu Khuzaimah, “Sesungguhnya terdapat hadits-hadits Nabi g yang tidak disebutkan Asy-Syafi’i dalam kitabnya (Al Musnad)”. Dan memang, masih banyak hadits Nabi g yang tidak terdapat dalam Musnad ini.[1]
Ar-Raudani berkata dalam Shilatu Al Khalaf, “Musnad Al Imam Asy-Syafi’i r adalah kitab yang memuat hadits-hadits yang diriwayatkan secara Musnad oleh Asy-Syafi’i baik yang marfu' maupun yang Mauquf. Kitab ini berasal dari riwayat Sama’i (yang didapatkan dengan mendengarkan) Abu Al Abbas Al Asham dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berasal dari kitab Al Umm dan Al Mabsuth, kecuali empat hadits yang diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ dari Al Buwaithi dari Asy-Syafi’i yang ditemukan oleh Muhammad bin Mathr An-Naisaburi dari beberapa bab milik Abu Al Abbas Al Asham. Tapi ada yang berpendapat bahwa Al Asham menyusunnya sendiri secara independen.[2]
Aku mengatakan, “Meskipun ukuran Musnad ini kecil dan hadits-haditsnya sedikit bila dinisbatkan kepada riwayat-riwayat imam Asy-Syafi’i r, tapi ia dihimpun dari sana-sini sehingga susah disesuaikan karena susunannya tidak berurutan dan banyak pengulangan, sampai-sampai imam Ar-Rafi’i sering memberi komentar dalam Syarah-nya dengan mengatakan, “Aku tidak tahu mengapa Abu Al Abbas menyebutnya dua kali padahal tidak ada manfaatnya.”
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Ta’jil Al Manfa’ah, “Orang yang menyusun hadits-hadits Asy-Syafi’i ini tidak mengurutkan baik berdasarkan Musnad atau bab-bab. Hal ini sungguh sangat kurang, karena ia dihimpun dari kitab Al Umm dan kitab-kitab lainnya, jadi bagaimana bisa sesuai?. Karena itulah banyak terjadi pengulangan dalam beberapa tempat.”[3]
Ar-Raudani berkata dalam Shilatu Al Khalf, “Pengarang tidak mengurutkannya sehingga banyak terjadi pengulangan dalam beberapa tempat.”[4]
Aku mengatakan, “Berdasarkan pernyataan para ulama dan lamanya waktu yang kugunakan untuk meneliti kitab Al Musnad saat mentahqiq Syarah imam Ar-Rafi’i terhadap kitab ini, aku dapat menyimpulkan dengan jelas bahwa ada beberapa poin yang berkaitan dengan metode pentakhrijan Musnad ini dan pengurutannya, yang secara globalnya adalah sebagai berikut:
  1. Hadits-hadits Al Musnad disusun tanpa pengurutan dan hanya dikeluarkan dari tempatnya dalam kitab-kitab Asy-Syafi’i. Hampir bisa dikatakan bahwa hadits-haditsnya tidak teratur dan antara sebagian yang satu dengan sebagian lainnya tidak saling mengikuti (tidak saling menyesuaikan), dan setiap hadits tidak bisa dipahami mengapa Asy-Syafi’i mengeluarkannya kecuali setelah diteliti dan direnungkan lalu melihat kembali kitab-kitab beliau. Bisa jadi Asy-Syafi’i mengeluarkan hadits tersebut untuk suatu arti sementara hadits tersebut mengandung arti-arti lainnya, sehingga akan diduga bahwa beliau mengeluarkannya untuk suatu arti yang bukan arti sebenarnya dari pentakhrijan hadits tersebut.
  2. Banyak hadits-hadits yang terdapat dalam Al Musnad disebutkan di selain tempatnya seperti yang berkaitan dengan hukum-hukum fikih, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Ar-Risalah, Ikhtilaf Al Ahadits, Ikhtilaf Asy-Syafi’i Wa Malik dan lain-lainnya. Masing-masing dari hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan dalil atas hukum fikih yang merupakan bahasan paling utama padanya. Asy-Syafi’i menyebutkannya dalam kitab-kitab tersebut untuk menjelaskan kandungan fikih yang terdapat dalam kitab tersebut.
  3. Disamping itu, beliau menggabungkan antara sebagian pembahasan-pembahasan fikih dan pembahasan yang semestinya disusun secara independen, seperti pembahasan Al Asyribah Wa Fadha‘il Quraisy (minuman dan makanan serta keutamaan Quraisy). Setelah itu beliau menyusun kitab Al Asyribah secara independen.
  4. Disamping itu, sebagian bab-bab fikih memuat hadits-hadits yang tidak berkaitan dengannya.
  5. Selain itu, ada beberapa hadits yang terkadang diulang-ulang untuk suatu faedah, misalnya ia diriwayatkan secara Mursal lalu diriwayatkan secara maushul, dan terkadang ada yang disebutkan secara ragu-ragu lalu tidak ragu-ragu. Ada pula yang disebutkan tanpa faedah (tujuan) yang jelas, sampai imam Ar-Rafi’i juga melakukan demikian saat mensyarah kitab ini, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
  6. Disamping itu, hadits-hadits Al Musnad tidak diurutkan sesuai urutan bab-bab fikih yang umum. Karena itulah sang peneliti harus bekerja keras untuk mendapatkan hadits yang mirip dengannya. 
  7. Imam Al Asham menyebutkan sebagian perkataan Asy-Syafi’i dalam masalah fikih setelah menyebutkan hadits-hadits, dan hal ini dicela oleh imam Ar-Rafi’i. Tapi kasus ini jarang sekali.
  8. Imam Al Asham menyalahkan imam Asy-Syafi’i dalam sebagian hadits. Hal ini telah diuraikan oleh imam Al Baihaqi r dalam kitabnya “Bayan Khatha‘i Man Akhtha‘a ’Ala Asy-Syafi’i”. Hal ini telah dijelaskan olehnya dan juga imam Ar-Rafi’i dalam Syarah-nya ini serta ulama-ulama selain mereka berdua.
  9. Sebagian hadits tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ dari Asy-Syafi’i secara langsung, tapi diriwayatkan oleh Al Buwaithi dari Asy-Syafi’i secara tidak langsung, dan terkadang diriwayatkan di tempat lain dari Asy-Syafi’i tanpa perantara, tapi yang sedikit sekali.
  10. Ada sebagian hadits yang Ar-Rabi’ tidak menyatakan dengan tegas bahwa dia mendengarnya dari Asy-Syafi’i, tapi dia mengatakan, “Asy-Syafi’i berkata.”

Itulah sebagian poin penting yang aku peroleh dalam metode penyusunan dan pentakhrijan Musnad Asy-Syafi’i. Hanya Allah jualah yang Maha Mengetahui.

Referensi: Musnad Imam Ahmad
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/



[1].     1/238-239.
[2]      Hal. 41.
[3]      1/239.
[4]      Hal. 41. 

No comments:

Post a Comment