Profil Imam Abu Al Abbas Al Asham
Penyusun Al Musnad[1]
Beliau adalah Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf bin Ma’qil
bin Sinan, seorang imam ahli hadits, ahli sanad pada masanya dan seorang
pengembara pada zamannya, Abu Al Abbas Al Umawi, Maula mereka. As-Sanani
Al Ma’qili An-Naisaburi Al Asham, putra dari Muhaddits Al Hafizh Abu Al Fadhl
Al Warraq.
A. Kelahiran
Abu Al Abbas Al Asham lahir pada tahun 247 Hijriyah.
Ayahnya termasuk salah seorang teman Ishaq bin Rahawaih dan Ali bin Hajar.
Sebagaimana yang dikatakan Abu Abdillah Al Hakim, dia adalah salah seorang yang
tulisannya paling bagus.
Beliau wafat pada tahun 274 Hijriyah.
B. Lawatan
Ilmiah & Menuntut Ilmu
Ayahnya mengajaknya melakukan Rihlah ke Ashbahan
pada tahun 265 Hijriyah. Di sana
dia mendengar (hadits) dari Harun bin Sulaiman dan Usaid bin Ashim. Di Kufah
dia mendengar (hadits) dari: Ahmad bin Abdul Jabbar Al ’Utharidi, Ahmad bin
Abdul Hamid Al Haritsi, Al Hasan bin Ali Affan Al Amiri. Tapi di Al Ahwaz dan
Bashrah beliau tidak mendengar satu huruf pun. Kemudian beliau menunaikan
ibadah haji ke Makkah dan di sana
beliau mendengar (hadits) dari Ahmad bin Syaiban Ar-Ramli, teman Ibnu Uyainah.
Dia hanya mendengar darinya saja. Sedangkan di Baghdad beliau mendengar
(hadits) dari Zakariya bin Yahya Asad Al Marwazi, teman Sufyan bin Uyainah,
Abbas Ad-Duri, Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani, Yahya bin Abi Thalib, Muhammad
bin Ubaidillah bin Al Munadi dan beberapa tokoh lainnya.
Di Mesir beliau mendengar dari: Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Hakam, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, Bahr Ibnu Nashr Al Khaulani dan
ulama-ulama yang semasa dengan mereka.
Di Damaskus beliau mendengar dari: Muhammad bin Hisyam
bin Mallas An-Numairi, Yazid bin Abdush Shamad dan Abu Zur’ah An-Nashri.
Di Beirut beliau mendengar dari: Al Abbas bin Al Walid Al
’Adzri.
Di Thursus beliau mendengar dari: Abu Umayyah
Ath-Thurthusi.
Di Himsh beliau mendengar dari: Muhammad bin ’Auf dan Abu
Utbah Ahmad bin Al Faraj.
Di Al Jazirah beliau mendengar dari: Muhammad bin Ali bin
Maimun Ar-Raqi.
Beliau mendengar Al Maghazi dari teks Al ’Utharidi
dan mendengar karya-karya Abdul Wahhab bin Atha` dari Yahya bin Abi Thalib.
Beliau mendengar karya-karya Zaidah dan As-Sunan karya Abu Ishaq Al
Fazari dari Abu Bakar Ash-Shaghani. Sedangkan Al ’Ilal karya Ali bin Al
Madini beliau mendengarnya dari Hambal. Untuk Ma’ani Al Qur`an beliau
mendengarnya dari Muhammad bin Al Jahm As-Samari, sedangkan untuk At-Tarikh
beliau mendengarnya dari Abbas Ad-Duri. Kemudian beliau pergi ke Khurasan saat
berusia 30 tahun.
Kudengar beliau berkata, “Aku menuturkan isi kitab Ma’ani
Al Qur`an pada tahun 270 ke atas.”
Beliau menuturkan kitab Al Umm karya Asy-Syafi’i
dari Ar-Rabi’. Beliau dianugerahi umur panjang dan memiliki reputasi baik
sehingga banyak para pelajar yang berbondong-bondong untuk menimba ilmunya.
Seluruh yang dituturkannya adalah berdasarkan yang beliau
riwayatkan dari redaksinya, karena beliau mengalami tuli saat masih muda dalam
usia 20 tahun lebih sepulangnya dari Rihlah, kemudian tulinya semakin
parah hingga tidak bisa mendengar ringkikan keledai. Dalam Islam beliau telah
menuturkan hadits selama 76 tahun.
Para perawi yang meriwayatkan hadits darinya adalah: Al
Husain bin Muhammad bin Ziyad Al Qabbani, Abu Hamid Al A’masyi –keduanya lebih tua darinya-, Hassan
bin Muhammad Al Faqih, Abu Ahmad bin ’Adi, Abu Amru bin Hamdan, Al Hafizh Abu
Ali An-Naisaburi, imam Abu Bakar Al Isma’ili, Abu Zakariya Yahya bin Muhammad
Al ’Anbari, Abu Abdillah bin Mandah, Abu Abdillah Al Hakim, Abu Abdirrahman
As-Sullami, Abdullah Ibnu Yusuf Al Ashbahani, Abu Thahir bin Muhammisy, Yahya
bin Ibrahim Al Muzakki, Abu Al Qasim Abdurrahman bin Muhammad As-Sarraj, Abu
Shadiq Muhammad bin Ahmad bin Abi Al Fawaris Al ’Aththar, Al Faqih Abu Nashr
Muhammad bin Ali Asy-Syairazi, Abu Bakar Muhammad bin Muhammad bin Raja‘ Al
Adib, Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad Asy-Syadziyakhi, Abu Nashr Ahmad bin Ali
bin Ahmad bin Syabib Al Fami, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin
Muawiyah Al ’Aththar, Ishaq bin Muhammad bin Yusuf As-Sausi, Al Hasan bin
Muhammad bin Habib Al Mufassir, Sa’id bin Muhammad bin Muhammad bin ’Abdan, Abu
Ath-Thayyib Sahl bin Muhammad bin Sulaiman Ash-Shu’luki, Abu Ahmad Abdullah bin
Muhammad bin Hasan Al Mahrajani, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hamid Ahmad
bin Ibrahim Al Muqri‘, Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Balawaih Al
Muzakki, Ubaid bin Muhammad bin Muhammad bin Mahdi Al Qusyairi, Abu Al Hasan
Ali bin Muhammad bin Ali Al Isfirayini Al Muqri‘, Abu Al Husain Ali bin
Muhammad As-Sab’i, Abu Al Qasim Ali bin Al Hasan Ath-Thuhmani, Abu Nashr
Manshur bin Al Husain Al Muqri‘, Al Qadhi Abu Bakar Ahmad bin Al Hasan Al
Hurasyi Al Hiri, Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Haid, Abu Sa’id
Muhammad bin Musa Ash-Shairafi, Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al
Baghdadi Ath-Thirazi, Muhammad bin Ibrahim bin Ja’far Al Jurjani dan masih
banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.
Ulama yang meriwayatkan darinya dengan Ijazah adalah
Abu Nu’aim Al Hafizh.
Al Hakim berkata, “Beliau tidak suka dijuluki ‘Al Asham’.
Imam kami, Abu Bakar Ibnu Ishaq Ash-Shabghi mengatakan “Al Ma’qili”. Dia
berkata, “Beliau menjadi tuli sepulangnya dari Rihlah. Beliau adalah
ahli hadits pada masanya. Tidak ada seorang pun yang berselisih pendapat
tentang kejujurannya dan kebenaran pendengarannya dan penilaian Dhabith
oleh ayahnya, Ya’qub Al Warraq terhadapnya. Beliau menganut madzhab bagus dan
taat beragama. Aku mendengar bahwa beliau mengumandangkan adzan selama 70 tahun
di masjidnya”. Dia berkata, “Beliau berakhlak baik dan dermawan. Terkadang
beliau membutuhkan sesuatu untuk biaya hidup lalu beliau menyiapkan kertas dan
makan dari hasil jerih payahnya. Inilah yang dicela oleh sebagian kalangan
bahwa beliau menjadikan hadits sebagai ladang bisnis. Padahal yang mencelanya
ini hanya orang-orang yang tidak mengenalnya, karena beliau sangat membenci hal
tersebut tapi tidak mau mengomentari orang yang mengatakan hal tersebut,
mengingat juru tulisnya dan putranya sering meminta hal tersebut (imbalan)
kepada orang-orang dan beliau sangat membencinya tapi tidak sanggup mencegah
keduanya.”
Yang mendengar darinya adalah para ayah, para anak dan
para cucu. Cukuplah beliau disebut sebagai orang mulia karena menceritakan
hadits pada tahun-tahun tersebut tapi tidak ada satu pun yang mencibirnya atau
mendebatnya. Tidak ada yang lebih banyak melakukan Rihlah (perjalanan)
dari satu negeri Islam ke negeri Islam lainnya daripada beliau. Aku pernah
melihat rombongan orang dari Andalusia dan warga Thiraz antri di depan pintu
rumahnya, dan begitu pula rombongan dari Persia dan negeri-negeri kawasan
timur.
C. Pendapat
Para Ulama Tentang Beliau
Al Hafizh Abu Hamid Al A’masyi berkata, “Kami menulis
tentang Abu Al Abbas bin Ya’qub Al Warraq dalam suatu majlis Muhammad bin Abdul
Wahhab Al Farra‘ pada tahun 275 Hijriyah.”
Al Hakim berkata: Aku mendengar Muhammad bin Al Fadhl bin
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah: aku mendengar kakekku ditanya tentang hukum
mendengarkan kitab Al Mabsuth dari Abu Al Abbas Al Asham. Dia menjawab,
“Dengarkanlah darinya, karena dia seorang ulama Tsiqah. Aku pernah
melihatnya mendengar (hadits) bersama ayahnya di Mesir sementara ayahnya
menilai ketelitian pendengarannya.”
Dia juga berkata: Aku mendengar Yahya bin Manshur Al
Qadhi, aku mendengar Abu Nu’aim bin ’Adi dikerumuni sekelompok orang yang
menanyakan kepadanya tentang suatu tempat di Naisabur untuk membaca Al
Mabsuth, maka dia menjawab, “Subhanallah! di tengah-tengah kalian
ada orang yang meriwayatkan kitab ini, seorang yang tsiqah lagi
terpercaya yaitu Abu Al Abbas Al Asham, tapi kalian malah ingin mendengarnya
dari selain dia!.”
Abu Ahmad Al Hakim berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Hatim
berkata, “Untuk kitab Al Mabsuth tidak ada perawi lain selain Abu Al
Abbas Al Warraq. Kami mendengar bahwa seorang yang tsiqah lagi Shaduq.”
D. Lelucon
Abu Abdillah Al Hakim berkata, “Aku menemui Abu Al Abbas
pada suatu hari di masjidnya. Dia keluar untuk mengumandangkan adzan shalat
Asar. Setelah berdiri di dalam menara, dia berkata dengan suara lantang
“Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada
kami”, kemudian dia tertawa dan orang-orang ikut tertawa, lalu dia
mengumandangkan adzan.
Dia berkata, “Aku membaca tulisan Abu Ali Al Hafizh yang
menganjurkan kepada Abu Al Abbas Al Asham agar menarik hadits-hadits yang
disisipkan orang-orang atas namanya, yaitu hadits Ash-Shaghani dari Ali bin
Hakim dari Humaid bin Abdurrahman dari Hisyam bin Urwah, yaitu hadits tentang
dicabutnya ilmu pengetahuan, dan hadits Ahmad bin Syaiban dari Ibnu Uyainah
dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya “Rasulullah g
mengirim Sariyyah”. Katanya lebih lanjut: Maka Abu Al Abbas berkomentar
dengan mengatakan, “Semua yang meriwayatkan hadits ini dariku adalah pendusta,
dan hadits-hadits tersebut tidak ada dalam kitabku.”
E. Wafatnya
Abu Al Abbas wafat pada tanggal 23 Rabi’ul Akhir tahun
346 Hijriyah.
Ayahnya wafat pada tahun awal 277 Hijriyah di Naisabur,
selisih sekitar 60 tahunan. Dia adalah seorang yang berpengetahuan luas.
Dia meriwayatkan hadits dari: Ishaq bin Rahawaih,
Muhammad bin Humaid dan beberapa tokoh lainnya.
Al Hakim berkata, “Aku mendengar Al Asham saat dia keluar
dan kami sedang berada di masjidnya. Saat itu jalan penuh sesak dengan orang
pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 344 Hijriyah. Dia mendikte setiap Senin sore
dari kitab aslinya. Ketika dia melihat banyaknya massa dan orang-orang asing yang berdiri
khusyu’ di hadapannya dan rela memanggulnya di atas bahu mereka dari pintu
rumahnya menuju masjidnya, dia pun menangis lama seraya duduk di atas tembok
masjid, lalu berkata kepada orang yang meminta dikte, “Tulislah!: aku mendengar
Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani berkata: aku mendengar Al Asyaj, aku mendengar
Abdullah bin Idris berkata, “Suatu hari aku mendatangi pintu rumah Al A’masy
setelah kematiannya, lalu kuketuk pintu dan seorang budak perempuan yang sudah
mengenalku menjawab dengan mengatakan, “Aduh Abdullah, engkau menangis, apa
yang dilakukan bangsa Arab yang sering mendatangi pintu ini?”. Lalu banyak
orang yang menangis, kemudian dia berkata, “Sepertinya jalan ini tidak dimasuki
lagi oleh salah seorang dari kalian, karena aku tidak bisa lagi mendengar dan
penglihatanku telah lemah, telah tiba waktunya berangkat dan ajalku telah
dekat”. Ternyata setelah satu bulan atau kurang dari satu bulan, dia mengalami
kebutaan, Rihlah berhenti dan orang-orang asing kembali ke daerah mereka
masing-masing sehingga kondisinya menjadi seperti semula. Lalu dia menunjuk ke
arah pena dan menyadari bahwa orang-orang menginginkan riwayat. Maka dia
berkata: Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami. Dia hapal 14 hadits dan 7 cerita. Dia
pun meriwayatkannya, lalu setelah itu kondisinya menjadi semakin buruk hingga
akhirnya dia wafat.”
Referensi: Musnad Imam Ahmad
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/
[1] Lih. Biografinya dalam: As-Siyar (15/452);
Al Ansab (1/294-297); Tarikh Dimasyq (16/67-69); Al Muntazham (6/386-387);
Tadzkiratu Al Huffazh (3/860-864); Al ’Ibar (2/273-274); Al
Wafi Bi Al Wafayat (5/223); Al Bidayah Wa An-Nihayah (11/232); An-Nujum
Az-Zahirah (3/317); Thabaqat Al Huffazh Hal. 354, Syadzarat
Adz-Dzahab (2/373-374).
No comments:
Post a Comment