Friday, April 18, 2014

Profil Imam Abu Al Abbas Al Asham Penyusun Al Musnad

Profil Imam Abu Al Abbas Al Asham
Penyusun Al Musnad[1]

Beliau adalah Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf bin Ma’qil bin Sinan, seorang imam ahli hadits, ahli sanad pada masanya dan seorang pengembara pada zamannya, Abu Al Abbas Al Umawi, Maula mereka. As-Sanani Al Ma’qili An-Naisaburi Al Asham, putra dari Muhaddits Al Hafizh Abu Al Fadhl Al Warraq.

A. Kelahiran
Abu Al Abbas Al Asham lahir pada tahun 247 Hijriyah. Ayahnya termasuk salah seorang teman Ishaq bin Rahawaih dan Ali bin Hajar. Sebagaimana yang dikatakan Abu Abdillah Al Hakim, dia adalah salah seorang yang tulisannya paling bagus.
Para perawi yang meriwayatkan hadits darinya adalah: Muhammad Ibnu Mikhlad Ad-Duri, Abdurrahman bin Abi Hatim, Muhammad bin Al Qasim Al ’Atki dan putranya, Abu Al Abbas Al Asham.
Beliau wafat pada tahun 274 Hijriyah.

B. Lawatan Ilmiah & Menuntut Ilmu
Ayahnya mengajaknya melakukan Rihlah ke Ashbahan pada tahun 265 Hijriyah. Di sana dia mendengar (hadits) dari Harun bin Sulaiman dan Usaid bin Ashim. Di Kufah dia mendengar (hadits) dari: Ahmad bin Abdul Jabbar Al ’Utharidi, Ahmad bin Abdul Hamid Al Haritsi, Al Hasan bin Ali Affan Al Amiri. Tapi di Al Ahwaz dan Bashrah beliau tidak mendengar satu huruf pun. Kemudian beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah dan di sana beliau mendengar (hadits) dari Ahmad bin Syaiban Ar-Ramli, teman Ibnu Uyainah. Dia hanya mendengar darinya saja. Sedangkan di Baghdad beliau mendengar (hadits) dari Zakariya bin Yahya Asad Al Marwazi, teman Sufyan bin Uyainah, Abbas Ad-Duri, Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani, Yahya bin Abi Thalib, Muhammad bin Ubaidillah bin Al Munadi dan beberapa tokoh lainnya.
Di Mesir beliau mendengar dari: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, Bahr Ibnu Nashr Al Khaulani dan ulama-ulama yang semasa dengan mereka.
Di Damaskus beliau mendengar dari: Muhammad bin Hisyam bin Mallas An-Numairi, Yazid bin Abdush Shamad dan Abu Zur’ah An-Nashri.      
Di Beirut beliau mendengar dari: Al Abbas bin Al Walid Al ’Adzri.
Di Thursus beliau mendengar dari: Abu Umayyah Ath-Thurthusi.
Di Himsh beliau mendengar dari: Muhammad bin ’Auf dan Abu Utbah Ahmad bin Al Faraj.
Di Al Jazirah beliau mendengar dari: Muhammad bin Ali bin Maimun Ar-Raqi.
Beliau mendengar Al Maghazi dari teks Al ’Utharidi dan mendengar karya-karya Abdul Wahhab bin Atha` dari Yahya bin Abi Thalib. Beliau mendengar karya-karya Zaidah dan As-Sunan karya Abu Ishaq Al Fazari dari Abu Bakar Ash-Shaghani. Sedangkan Al ’Ilal karya Ali bin Al Madini beliau mendengarnya dari Hambal. Untuk Ma’ani Al Qur`an beliau mendengarnya dari Muhammad bin Al Jahm As-Samari, sedangkan untuk At-Tarikh beliau mendengarnya dari Abbas Ad-Duri. Kemudian beliau pergi ke Khurasan saat berusia 30 tahun.
Kudengar beliau berkata, “Aku menuturkan isi kitab Ma’ani Al Qur`an pada tahun 270 ke atas.”
Beliau menuturkan kitab Al Umm karya Asy-Syafi’i dari Ar-Rabi’. Beliau dianugerahi umur panjang dan memiliki reputasi baik sehingga banyak para pelajar yang berbondong-bondong untuk menimba ilmunya.
Seluruh yang dituturkannya adalah berdasarkan yang beliau riwayatkan dari redaksinya, karena beliau mengalami tuli saat masih muda dalam usia 20 tahun lebih sepulangnya dari Rihlah, kemudian tulinya semakin parah hingga tidak bisa mendengar ringkikan keledai. Dalam Islam beliau telah menuturkan hadits selama 76 tahun.
Para perawi yang meriwayatkan hadits darinya adalah: Al Husain bin Muhammad bin Ziyad Al Qabbani, Abu Hamid Al A’masyi          –keduanya lebih tua darinya-, Hassan bin Muhammad Al Faqih, Abu Ahmad bin ’Adi, Abu Amru bin Hamdan, Al Hafizh Abu Ali An-Naisaburi, imam Abu Bakar Al Isma’ili, Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al ’Anbari, Abu Abdillah bin Mandah, Abu Abdillah Al Hakim, Abu Abdirrahman As-Sullami, Abdullah Ibnu Yusuf Al Ashbahani, Abu Thahir bin Muhammisy, Yahya bin Ibrahim Al Muzakki, Abu Al Qasim Abdurrahman bin Muhammad As-Sarraj, Abu Shadiq Muhammad bin Ahmad bin Abi Al Fawaris Al ’Aththar, Al Faqih Abu Nashr Muhammad bin Ali Asy-Syairazi, Abu Bakar Muhammad bin Muhammad bin Raja‘ Al Adib, Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad Asy-Syadziyakhi, Abu Nashr Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Syabib Al Fami, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Muawiyah Al ’Aththar, Ishaq bin Muhammad bin Yusuf As-Sausi, Al Hasan bin Muhammad bin Habib Al Mufassir, Sa’id bin Muhammad bin Muhammad bin ’Abdan, Abu Ath-Thayyib Sahl bin Muhammad bin Sulaiman Ash-Shu’luki, Abu Ahmad Abdullah bin Muhammad bin Hasan Al Mahrajani, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hamid Ahmad bin Ibrahim Al Muqri‘, Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin Balawaih Al Muzakki, Ubaid bin Muhammad bin Muhammad bin Mahdi Al Qusyairi, Abu Al Hasan Ali bin Muhammad bin Ali Al Isfirayini Al Muqri‘, Abu Al Husain Ali bin Muhammad As-Sab’i, Abu Al Qasim Ali bin Al Hasan Ath-Thuhmani, Abu Nashr Manshur bin Al Husain Al Muqri‘, Al Qadhi Abu Bakar Ahmad bin Al Hasan Al Hurasyi Al Hiri, Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Haid, Abu Sa’id Muhammad bin Musa Ash-Shairafi, Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al Baghdadi Ath-Thirazi, Muhammad bin Ibrahim bin Ja’far Al Jurjani dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.  
Ulama yang meriwayatkan darinya dengan Ijazah adalah Abu Nu’aim Al Hafizh.
Al Hakim berkata, “Beliau tidak suka dijuluki ‘Al Asham’. Imam kami, Abu Bakar Ibnu Ishaq Ash-Shabghi mengatakan “Al Ma’qili”. Dia berkata, “Beliau menjadi tuli sepulangnya dari Rihlah. Beliau adalah ahli hadits pada masanya. Tidak ada seorang pun yang berselisih pendapat tentang kejujurannya dan kebenaran pendengarannya dan penilaian Dhabith oleh ayahnya, Ya’qub Al Warraq terhadapnya. Beliau menganut madzhab bagus dan taat beragama. Aku mendengar bahwa beliau mengumandangkan adzan selama 70 tahun di masjidnya”. Dia berkata, “Beliau berakhlak baik dan dermawan. Terkadang beliau membutuhkan sesuatu untuk biaya hidup lalu beliau menyiapkan kertas dan makan dari hasil jerih payahnya. Inilah yang dicela oleh sebagian kalangan bahwa beliau menjadikan hadits sebagai ladang bisnis. Padahal yang mencelanya ini hanya orang-orang yang tidak mengenalnya, karena beliau sangat membenci hal tersebut tapi tidak mau mengomentari orang yang mengatakan hal tersebut, mengingat juru tulisnya dan putranya sering meminta hal tersebut (imbalan) kepada orang-orang dan beliau sangat membencinya tapi tidak sanggup mencegah keduanya.”
Yang mendengar darinya adalah para ayah, para anak dan para cucu. Cukuplah beliau disebut sebagai orang mulia karena menceritakan hadits pada tahun-tahun tersebut tapi tidak ada satu pun yang mencibirnya atau mendebatnya. Tidak ada yang lebih banyak melakukan Rihlah (perjalanan) dari satu negeri Islam ke negeri Islam lainnya daripada beliau. Aku pernah melihat rombongan orang dari Andalusia dan warga Thiraz antri di depan pintu rumahnya, dan begitu pula rombongan dari Persia dan negeri-negeri kawasan timur.
  
C. Pendapat Para Ulama Tentang Beliau
Al Hafizh Abu Hamid Al A’masyi berkata, “Kami menulis tentang Abu Al Abbas bin Ya’qub Al Warraq dalam suatu majlis Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra‘ pada tahun 275 Hijriyah.”
Al Hakim berkata: Aku mendengar Muhammad bin Al Fadhl bin Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah: aku mendengar kakekku ditanya tentang hukum mendengarkan kitab Al Mabsuth dari Abu Al Abbas Al Asham. Dia menjawab, “Dengarkanlah darinya, karena dia seorang ulama Tsiqah. Aku pernah melihatnya mendengar (hadits) bersama ayahnya di Mesir sementara ayahnya menilai ketelitian pendengarannya.”
Dia juga berkata: Aku mendengar Yahya bin Manshur Al Qadhi, aku mendengar Abu Nu’aim bin ’Adi dikerumuni sekelompok orang yang menanyakan kepadanya tentang suatu tempat di Naisabur untuk membaca Al Mabsuth, maka dia menjawab, “Subhanallah! di tengah-tengah kalian ada orang yang meriwayatkan kitab ini, seorang yang tsiqah lagi terpercaya yaitu Abu Al Abbas Al Asham, tapi kalian malah ingin mendengarnya dari selain dia!.”
Abu Ahmad Al Hakim berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Hatim berkata, “Untuk kitab Al Mabsuth tidak ada perawi lain selain Abu Al Abbas Al Warraq. Kami mendengar bahwa seorang yang tsiqah lagi Shaduq.”

D. Lelucon
Abu Abdillah Al Hakim berkata, “Aku menemui Abu Al Abbas pada suatu hari di masjidnya. Dia keluar untuk mengumandangkan adzan shalat Asar. Setelah berdiri di dalam menara, dia berkata dengan suara lantang “Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami”, kemudian dia tertawa dan orang-orang ikut tertawa, lalu dia mengumandangkan adzan.
Dia berkata, “Aku membaca tulisan Abu Ali Al Hafizh yang menganjurkan kepada Abu Al Abbas Al Asham agar menarik hadits-hadits yang disisipkan orang-orang atas namanya, yaitu hadits Ash-Shaghani dari Ali bin Hakim dari Humaid bin Abdurrahman dari Hisyam bin Urwah, yaitu hadits tentang dicabutnya ilmu pengetahuan, dan hadits Ahmad bin Syaiban dari Ibnu Uyainah dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya “Rasulullah g mengirim Sariyyah”. Katanya lebih lanjut: Maka Abu Al Abbas berkomentar dengan mengatakan, “Semua yang meriwayatkan hadits ini dariku adalah pendusta, dan hadits-hadits tersebut tidak ada dalam kitabku.”

E. Wafatnya    
Abu Al Abbas wafat pada tanggal 23 Rabi’ul Akhir tahun 346 Hijriyah.
Ayahnya wafat pada tahun awal 277 Hijriyah di Naisabur, selisih sekitar 60 tahunan. Dia adalah seorang yang berpengetahuan luas.
Dia meriwayatkan hadits dari: Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Humaid dan beberapa tokoh lainnya.
Para tokoh yang meriwayatkan darinya adalah: Putranya sendiri, Ibnu Abi Hatim dan Muhammad bin Makhlad. Dia adalah orang yang tulisannya bagus.
Al Hakim berkata, “Aku mendengar Al Asham saat dia keluar dan kami sedang berada di masjidnya. Saat itu jalan penuh sesak dengan orang pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 344 Hijriyah. Dia mendikte setiap Senin sore dari kitab aslinya. Ketika dia melihat banyaknya massa dan orang-orang asing yang berdiri khusyu’ di hadapannya dan rela memanggulnya di atas bahu mereka dari pintu rumahnya menuju masjidnya, dia pun menangis lama seraya duduk di atas tembok masjid, lalu berkata kepada orang yang meminta dikte, “Tulislah!: aku mendengar Muhammad bin Ishaq Ash-Shaghani berkata: aku mendengar Al Asyaj, aku mendengar Abdullah bin Idris berkata, “Suatu hari aku mendatangi pintu rumah Al A’masy setelah kematiannya, lalu kuketuk pintu dan seorang budak perempuan yang sudah mengenalku menjawab dengan mengatakan, “Aduh Abdullah, engkau menangis, apa yang dilakukan bangsa Arab yang sering mendatangi pintu ini?”. Lalu banyak orang yang menangis, kemudian dia berkata, “Sepertinya jalan ini tidak dimasuki lagi oleh salah seorang dari kalian, karena aku tidak bisa lagi mendengar dan penglihatanku telah lemah, telah tiba waktunya berangkat dan ajalku telah dekat”. Ternyata setelah satu bulan atau kurang dari satu bulan, dia mengalami kebutaan, Rihlah berhenti dan orang-orang asing kembali ke daerah mereka masing-masing sehingga kondisinya menjadi seperti semula. Lalu dia menunjuk ke arah pena dan menyadari bahwa orang-orang menginginkan riwayat. Maka dia berkata: Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami. Dia hapal 14 hadits dan 7 cerita. Dia pun meriwayatkannya, lalu setelah itu kondisinya menjadi semakin buruk hingga akhirnya dia wafat.”

Referensi: Musnad Imam Ahmad
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/



[1]      Lih. Biografinya dalam: As-Siyar (15/452); Al Ansab (1/294-297); Tarikh Dimasyq (16/67-69); Al Muntazham (6/386-387); Tadzkiratu Al Huffazh (3/860-864); Al ’Ibar (2/273-274); Al Wafi Bi Al Wafayat (5/223); Al Bidayah Wa An-Nihayah (11/232); An-Nujum Az-Zahirah (3/317); Thabaqat Al Huffazh Hal. 354, Syadzarat Adz-Dzahab (2/373-374). 

No comments:

Post a Comment