KITAB
THAHARAH
1- أَخْبَرَنَا
الرَّبِيع، أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ، أَخْبَرَنَا
مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَلَمَةَ،
رَجُلٍ مِنْ آلِ ابْنِ الأَزْرَقِ، أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ أَبِي بُرْدَةَ وَهُوَ
مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ، أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ،
يَقُولُ: سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ
الْمَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا، أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ
الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ
الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
1. Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami,
Asy-Syafi'i mengabarkan kepada kami, Malik menceritakan kepada kami dari
Shafwan bin Sulaim, dari Sa'id bin Salamah –seorang laki-laki dari keluarga Ibnu
Al Azraq-, bahwa Al Muhgirah bin Abi Burdah –seorang laki-laki dari Bani Abdud
Dar- mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata: Seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah g, "Wahai Rasulullah,
kami mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air, bila kami berwudhu dengan
menggunakan air tersebut maka kami akan kehausan, apakah kami boleh berwudhu
dengan air laut?."
Nabi g menjawab,
"Laut itu airnya suci lagi mensucikan, bangkainya pun halal."
Penjelasan:
Malik adalah imam Darul Hijrah
(Madinah Al Munawwarah), Abu Abdillah bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al
Ashbahi Al Madani. Beliau adalah ulama rujukan di dua tanah Haram. Buku-bukunya
menyebar luas, pengikutnya banyak dan madzhabnya terkenal di kalangan
masyarakat.
Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i bahwa
beliau berkata tentang karya imam Malik, Al Muwaththa`, "Setelah
Kitab Allah, tidak ada kitab yang lebih banyak benarnya daripada Al
Muwaththa` karya imam Malik."
Harun Ar-Rasyid berencana
menggantung kitab Al Muwaththa` di dalam Ka'bah lalu menginstruksikan
kepada kaum muslimin agar mengamalkan isinya, tapi imam Malik melarangnya
karena sifat Wara'-nya. Beliau berkata, "Sesungguhnya para Sahabat
Rasulullah g menyebar di berbagai
negeri dan mereka berselisih pendapat. Setiap orang punya ijtihadnya
sendiri-sendiri. Biarkanlah masyarakat mengambil (apa yang mereka sukai) dari
mereka."
Diriwayatkan bahwa jika beliau duduk
di majlisnya, beliau tidak akan berbicara sebelum mengucapkan, "Maha Suci
Engkau, tidak ada pengetahuan pada kami kecuali yang telah Engkau ajarkan
kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Beliau lahir pada tahun 94 atau 95
Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah dan dimakamkan di Al Baqi'.
Shafwan bin Sulaim Abu Al Harits,
ada pula yang menyebutnya Abu Abdillah. Beliau adalah Maula Humaid Ibnu
Abdurrahman bin Auf. Beliau mendengar dari Atha` bin Yasar dan Humaid bin
Abdurrahman.
Para
perawi yang meriwayatkan darinya adalah: Malik, Sufyan bin Uyainah,
Ad-Darawardi dan lain-lain. Beliau wafat pada tahun 124 Hijriyah.
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah bahwa
dia berkata, "Bila aku melihatnya, aku mengetahui bahwa dia sangat takut
kepada Allah SWT."
Sa'id bin Salamah, ada pula yang
menyebutnya Al Makhzumi. Adalah berasal dari keluarga [Ibnu]
Al Azraq. Sebagian ulama menyebut namanya terbalik menjadi dua nama. Ada yang menyebutnya
"Salamah bin Sa'id", dan sebagian lainnya ada yang menyebutnya
"Abdullah bin Sa'id."
Beliau meriwayatkan dari Sa'id, Amru
bin Al Harits dan lain-lainnya.
Al Mughirah bin Abi Burdah adalah
perawi yang berasal dari Bani Abdu Dar. Ulama yang meriwayatkan darinya adalah
Yahya bin Sa'id Al Anshari. Sedangkan beliau meriwayatkan dari Abu Hurairah dan
tokoh-tokoh lainnya.
Sebagian tokoh ada yang keliru
menyebut namanya dengan mengatakan "Al Mughirah bin Abi Barr".
Sedangkan sebagian lainnya menggantikan posisinya dalam sanad dengan
"Abdullah bin Al Mughirah". Tapi yang paling tepat adalah nama yang
pertama.
Abu Hurairah
Ad-Dausi adalah salah seorang Sahabat terkenal. Namanya setelah masuk Islam
adalah Abdurrahman atau Abdullah, sedang namanya pada masa Jahiliyah adalah
Abdu Syams atau Abdu Ghanam atau Abdu Naham atau Sukain atau Amir.
Masing-masing memiliki pendapat tersendiri, dan ada pula yang berpendapat bahwa
beliau memiliki nama lain. Beliau menetap di Madinah. Beliau datang menghadap
Nabi g dan masuk Islam pada saat terjadi perang Khaibar. Beliau
wafat […]
pada tahun (1/3-B) pada tahun 73 Hijriyah. Usianya mencapai 100 tahun tapi
giginya tidak rontok dan orang yang mengenalnya tidak ada yang mengingkarinya.
Dari Naufal bin Abi 'Aqrab: Bahwa Al
Hajjaj menemui Asma` setelah putranya, Abdullah bin Az-Zubair tewas, lalu dia
bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah kulakukan
terhadap musuh Allah, Ibnu Az-Zubair?."
Asma` menjawab, "Menurutku
engkau telah membinasakan dunianya sedang dia telah membinasakan akhiratmu. Aku
mendengar bahwa engkau mencela putra Dzatu An-Nithaqain. Tentang Nithaq,
akulah yang membawa makanan dengan Nithaq tersebut untuk ayahku dan
Rasulullah g saat keduanya berada di
dalam gua. Sedangkan Nithaq yang lain adalah yang harus kupakai (di
pinggang). Aku teringat sabda Rasulullah g,
يَكُوْنُ
فِي ثَقِيفٍ كَذَّابًا وَمُبِيرًا فَأَمَّا الْكَذَّابُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ، وَأَمَّا
الْمُبِيرُ فَلاَ إِخَالُهُ إِلاَّ أَنْتَ. فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا مُتَغَيِّرًا
وَجْهُهُ.
'Nanti dari Bani Tsaqif akan ada
tokoh perusak dan pendusta besar. Tentang pendusta besar aku telah melihatnya,
sedangkan tokoh perusak, aku tidak menduganya kecuali engkau'.
Maka Al Hajjaj keluar dari hadapan
Asma` dengan raut muka berubah."
Sebagaimana diriwayatkan oleh
Asy-Syafi'i, hadits ini juga diriwayatkan
dari Sufyan oleh Al Humaidi
dan Ibnu Abi Umar. At-Tirmidzi
mengeluarkan hadits ini dari riwayatnya. Sedangkan yang meriwayatkan dari Malik
seperti yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i adalah Abdullah bin Yusuf. Al Bukhari
juga meriwayatkan dalam Shahih-nya
dari riwayatnya, dan juga Abdullah bin [Maslamah].
Abu Daud juga
meriwayatkan hadits ini dari riwayatnya. Sedangkan yang meriwayatkan dari
Hisyam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah adalah Malik, Hammad bin
Salamah, Yahya bin Sa'id, Ibnu Numair, Waki'
dan Abu Khalid Al Ahmar. Sedangkan yang meriwayatkan dari Fatimah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Hisyam adalah Muhammad bin Ishaq.
Hadits tentang bab ini juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ummu Qais binti Mihshan.
الَحُتُّ adalah
mengerik dengan ujung kayu dan jenisnya, sedang القَرْصُ adalah menggosok dengan jari
dan sejenisnya. Akar katanya adalah Qarasha
Yaqrushu. Maksud menggosok dengan air adalah menggunakan air untuk
melunakan pakaian tersebut agar darahnya hilang bersama air tersebut. Ada pula yang mengatakan
bahwa arti Uqrushihi Bil Ma'i adalah
bilaslah ia dengan ujung jari-jarimu dengan menggunakan air. الرَّشُّ adalah menyiram air secara terpisah (menciprati).
Dari kata inilah rintik hujan dinamakan Rasysyun.
Redaksi, "Ar-Rabi' mengabarkan
kepadaku di awal kitab", maksudnya adalah Kitab Thaharah. Riwayat pertama
seperti riwayat kedua baik secara sanad maupun matan-nya. Akan tetapi pada yang
kedua ditolak karena sebagian penisbatan Sufyan, Hisyam, Fatimah dan Asma`;
Fatimah adalah isteri Sufyan sedang Asma` adalah nenek nenek Fatimah. Jadi
penyebutannya mengandung beberapa faedah. Kemudian dalam riwayat Sufyan
disebutkan bahwa Asma` berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah
g",
sedangkan dalam riwayat Malik disebutkan, "Bahwa dia berkata: aku bertanya
kepada isteri Rasulullah g". Ini bisa diartikan
pada riwayat kedua tersebut. Bisa pula Asma` bertanya kepada Nabi dan bertanya
kepada selain perempuan tersebut, dan masing-masing riwayat berbentuk
pertanyaan. Al Baihaqi menyebutkan bahwa yang benar adalah "Seorang
perempuan bertanya."
Adapun perkataan Asma` عَنْ دَمِ الْحَيْضِ "Tentang darah haid", bisa dibaca dengan harakat kasrah yaitu kondisi yang dialami
perempuan tersebut dan bisa pula dibaca fathah yaitu satu kali haidh. Pelafazhan
ini lebih kuat berdasarkan redaksi pada riwayat pertama "Tentang darah
haidh."
Redaksi فَلْتَقْرِصْهُ dibaca dengan ringan dan
sesuai dengan redaksi pada riwayat pertama اقْرِصِيْهِ, dan juga dibaca فَلْتَقَرِّصْهُ dengan tasydid.
Redaksi وَلْتَنْضَحَهُ بِاْلَمَاءِ, imam Asy-Syafi'i
menafsirkannya dengan "Mencuci (membasuh)". Kata An-Nadh-hu artinya adalah menyiram, menciprati dan mencuci. Tentang
arti mencuci adalah berdasarkan riwayat dalam sebagian hadits, َِلْيَنْضَحْ فَرْجَهُ, yakni
beristinjalah dengan air. Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits, حُتِّيهِ ثُمَّ اقْرُصِيهِ ثُمَّ اغْسِلِيْهِ بِالْمَاءِ "Keriklah lalu gosoklah kemudian siramlah dengan air."
Imam Asy-Syafi'i menjadikan hadits
ini sebagai landasan hukum dalam dua masalah:
Pertama: Bahwa
menyentuh sesuatu yang najis tidak mewajibkan wudhu; karena Nabi
g
hanya menyuruh mengerik darah haidh yaitu dengan kuku dan ujung jari dan tidak
menyuruh berwudhu.
Kedua: Untuk mencuci
najis tidak perlu dengan bilangan tertentu, karena Nabi menyebut kata menyiram
dengan air secara mutlak dan membolehkan shalat setelah itu.
Hadits ini juga bisa dijadikan landasan
hukum untuk menyimpulkan hal-hal berikut ini:
1.
Tidak ada bedanya antara
darah yang seukuran uang dirham atau yang lebih besar darinya.
2.
Tidak ada bedanya antara
bagian yang ditemukan dengan bagian yang tidak ditemukan.
3.
Memaafkan sisa darah yang
masih ada setelah digosok dan disiram, karena Nabi
g
membolehkan shalat secara mutlak setelah itu.
4.
Perintah mengerik dan
menggosok secara zahir menunjukkan wajib dan hal ini bisa dimengerti. Tapi
mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Orang yang menganggap Sunnah
juga cenderung menganggap wajib, karena anjurannya mencakup keduanya.
5.
Sebagian ulama menjadikan
redaksi hadits, "Kemudian bilaslah dengan air" dan redaksi
hadits "Kemudian siramlah (cipratilah) dengan air" sebagai
landasan hukum bahwa harus dengan menggunakan air.
6.
Seorang perempuan diperbolehkan
bertanya kepada seorang mufti dalam hal-hal yang berkaitan dengan haidh, dan
pertanyaannya seputar haidh tidak merusak rasa malu yang terpuji. Karena kalau
tidak demikian, tentunya Nabi g akan memberi nasehat
kepada si perempuan penanya agar melakukan hal yang bertentangan dengan apa
yang dilakukannya.
Referensi: Musnad Imam Ahmad
Sumber link asli: http://panduan-hukum-islam.blogspot.com/